Monday, December 26, 2011

CATATAN KULIAH POLITIK HUKUM

CATATAN KULIAH KE 1
POLITIK HUKUM
SETELAH MID SEMESTER
Bp. Prof. Dr.Arief Hidayat, SH, MS
Minggu, 18 Desember 2011

PERGESERAN DARI SUPREMASI INSTITUSI KE SUPREMASI KONSTITUSI

             I.      Struktur Kenegaraan Sebelum Amandemen UUD 1945


UU 1945 sebelum di Amandemen meletakan supremasi struktur kenegaraan Indonesia di tangan Lembaga (Institusi)  yaitu Institusi MPR. Seluruh lembaga-lembaga negara bertanggung jawab kepada MPR sebagai Lembaga tertinggi Negara. Kedudukan Konstitusi UUD 1945 Dijelmakan oleh Lembaga MPR yang merupakan penjelmaan kehendak Rakyat.
Kontruksi konstitusi UUD 1945 terdiri dari :

1.      Pembukaan
Pada Pembukaan UUD 1945 mengandung norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi negara (staatsfundamentalnorm). Norma tersebut adalah Pancasila. Pancasila haruslah dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee). Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif sesuai dengan ide-ide dasar Pancasila. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapannya dan pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Menurut Pendapat Hans Nawiazky yang merupakan murid dari Hans Kelsen mengembangkan teori piramida hukum (stufentheorie) Hans Kelsen mengemukakan bahwa : Norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai Norma Dasar (Basic Norm) pada suatu negara sebaikanya tidak disebut sebagai StaatsgrundNorm  melainkan Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara. Grundnorm pada dasarnya statis atau tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi dapat berubah dengan cara Revolusi atau Kudeta.
Dengan memposisikan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm, jika berlandaskan pada teorinya Hans Nawiazky tersebut maka Pancasila ditempatkan diatas Konstitusi (UUD 1945). Pada akhirnya Pancasila tidak termasuk pada pengertian Konstitusi.

2.      Batang Tubuh
Batang tubuh UUD 1945 yang meliputi seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 ditempatkan sebagai ATURAN DASAR NEGARA (staatsgrundgesetz) , termasuk didalamnya adalah TAP MPR dan Konvensi Ketatanegaraan.
Batang tubuh UUD 1945 ini merupakan arti sebenarnya dari Konstitusi Negara Republik Indonesia. Batang Tubuh ini juga sebagai peletakan dasar sistem ketatanegaraan Indonesia. Pada batang tubuh ini, juga meletakan Lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi Negara yang merupakan pencerminan kehendak rakyat Indonesia. Sehingga seluruh lembaga-lembaga negara yang diatur dalam batang tubuh UUD 1945 ini pun haruslah bertanggung jawab kepada MPR.
Pada akhirnya menempatkan Lembaga MPR sebagai lembaga Superior dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia. Bahkan seolah-olah Lembaga MPR kedudukannya lebih tinggi dari Pancasila yang merupakan Norma Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm).
3.      Penjelasan
Penjelasan UUD 1945 merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945, yang menyatakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
Pada Penjelasan juga diterangkan bahwa pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal yang ada dalam batang tubuh UUD 1945. Sehingga dalam penjelsannya Pancasila yang terkandung dalam Pembukaaan UUD 1945 merupakan bagian yang menjadi satu kesatuan sebagai Konstitusi Negara. Kedudukan Pancasila tidak lebih tinggi dari Konsitusi Negara. Pancasila tidak menjadi staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara.

Dengan mengetahui kontruksi Konstitusi UUD 1945 sebelum di Amandemen, maka dalam struktur sistem ketatanegaraan Indonesia pada saat itu menempatkan Lembaga (istitusi) MPR sebagai lembaga yang superior. Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Demikian juga yang terjadi terhadap Lembaga MPR, pada kondisi nyata dikendalikan atau direkayasa oleh PRESIDEN. Lembaga ini hanya digunakan sebagai alat kekuasaan Presiden saja. Sehingga yang terjadi kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sangat-sangat dominan yang pada akhirnya pemerintannyapun menjadi pemerintahan yang Otoriter.

          II.      Struktur Kenegaraan Sesudah Amandemen UUD 1945


Amandemen UUD 1945 yang terjadi saat sekarang bermula dari adanya tuntutan Reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Ketika itu kekuasaan Orde Baru yang otoriter jatuh dengan terjadinya tuntutan rakyat untuk mereformasi segala bentuk kekuasaannya. Adapun tuntutan reformasi itu adalah :
1.      Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
2.      Perubahan Konstitusi yang Demokrasi
3.      Penegakan Hukum yang independen dan terlepas dari pengaruh kekuasaan

Salah satu poin tuntutan reformasi adalah perubahan konstitusi yang demokrasi, ini berarti luas adalah tuntutan untuk merubah sistem keukuasaan ketatanegaraan untuk dengan senyatanya dikembalikan pada rakyat. Pengembalian kedaulatan rakyat ini, dengan mengembalikan posisi falsafah Negara yaitu Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 pada makna dan fungsi yang sebenarnya.
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi IDEOLOGI TERTUTUP adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Pancasila sebagai Ideologi Tertutup berperan sebagai ideologi yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve. Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Kedudukan Pancasila sebagai Falsafah Negara atau staatsidee yang berfungsi sebagai filosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Bahkan Ir. Soekarno juga menyebutkan dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila sebagai kesepakatan yang berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti­tusi dan konsti­tusionalisme di Indonesia. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung­kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke­ber­samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe­rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai Indiologi Pancasila.
Pancasila sebagai penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai INDEOLOGI TERBUKA. Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.
Dengan prinsip Pancasila sebagai Ideologi yang terbuka, menempatkan Pancasila sebagai bagian dari Konstitusi Negara. Menempatkan Pancasila sebagai bagian dari Konstitusi Negara, dengan jelas terdapat pada PEMBUKAAN UUD 1945. Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[1]
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.[2] Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan  Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu;
(1)  bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan;
(2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya;
(3)  bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan
(4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.[3]
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.[4]
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamen­talnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat[5]. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.[6]
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.
Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms, lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.
Dari pemahaman mengenai Ideologi Pancasila tersebut, maka pada era reformasi melalui Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu:[7]
1.      sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2.      sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.      sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4.      sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5.      sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
 Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[8] Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.[9] Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.[10]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.[11]
Bersamaan dengan terjadinya Perubahan (Amandemen) UUD 1945 tersebut. Maka prinsip Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis (democratic rule of law) juga dipertegas dalam rumusan UUD 1945. Prinsip “supremasi parlemen” yang dianut sebelumnya, yang dilambangkan dengan kedudukan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai lembaga tertinggi negara, diubah dengan prinsip “supremasi konstitusi dimana semua lembaga negara dan semua cabang kekuasaan negara mempunyai kedudukan yang sama-sama tunduk kepada konstitusi dalam hubungan “checks and balances” antara satu dengan yang lain. Perubahan dari prinsip “supremasi institusi” ke “supremasi konstitusi” tersebut memperkuat kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan mengharuskan konstitusi itu dijalankan dengan sungguh-sungguh dalam praktik penyelenggaraan negara sehari-hari. Konstitusi tidak lagi hanya bernilai simbolik atau semantik, yang hanya ada dalam pidato-pidato para pejabat, tetapi – sebagai kontrak sosial – benar-benar harus dapat diwujudkan dalam kenyataan.
Supremasi Konstitusi, juga memungkinkan Hukum dijadikan landasan untuk membentuk sistem, dengan cara memisahkan kekuasaan (Pemencaran Kekuasaan). Mengingat segala bentuk kekuasaan cenderung kearah KORUP dan OTORITER. Adapun teori Pemencaran Kekuasaan itu ada 2 macam yaitu :
1.      Pemencaran secara VERTIKAL (Teritorial Division of Power/distribution of power)
Pemencaran kekuasaan dengan cara pembagian kekuasaan dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga-lembaga negara dibwahnya. Pada sistem ini terjadi supremasi satu lembaga negara.
2.      Pemencaran secara HORISONTAL ( Function Division of Power/separation of power)
Cara memisahkan kekuasan-kekuasaan menjadi kekuasan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagi fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.
Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara atau pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya



[1] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 – 129.
[2] Kusuma, Op Cit., hal. 130, catatan kaki no. 229.
[3] Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan penjelasan ini. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 51.
[4] Ibid., hal. 51 – 52.
[5] Kusuma, Op Cit., hal. 132 – 137.
[6] Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
[7] Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[8] Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.
[9] Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
[10] Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
[11] Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini  meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.
READ MORE - CATATAN KULIAH POLITIK HUKUM Share

Saturday, December 24, 2011

DEDUCTO-HYPOTHETICO VERIFIKATIF PROCESS

DEDUCTO-HYPOTHETICO VERIFIKATIF PROCESS
( Proses Verikasi Hipotesa-Deduktif )
Format standar Penelitian yang dipakai oleh semua bidang ilmu







Tahapan-tahapan pada format standar penelitian Deducto-Hypothetico Verifikatif Process sesuai dengan bagan diatas yaitu :

  1. Tahap 1 Proses penemuan Masalah (Problem)
Semua penelitian berangkat dari Permasalahan, kadang sulit untuk menentukan atau mencara masalah dalam penelitian hal ini disebabkan tingkat kepekaan yang kurang, dalam menangkap fenomena yang ada.

  1. Tahap 2 Mencari dan Menentukan Konsep dan Teori
Setelah Permasalahan sudah diperoleh, dilanjutkan dengan mencari dan menentukan Konsep-konsep dan Teori-teori yang sudah berlaku terhadap permasalahan yang telah ditentukan, melalui STUDI PUSTAKA/TELAAH PUSTAKA ( LIBRARY STUDY, LECTURE STUDY) dengan cara mencari Jurnal-Jurnal, hasil-hasil penelitian, tesis yang sudah membahas masalah yang akan kita pakai dengan sudut pandang (aspek) yang berbeda. Studi Pustaka ini dibedakan 2 macam Referansi yaitu :

1)      Referensi Umum
Bahan-bahan literatur yang tidak berhubungan langsung dengan permasalahan yang telah ditentukan digunakan sebagai pengetahuan secara umum. Contoh : Koran. Majalah dan lain-lain

2)      Referensi Khusus
Bahan-bahan literatur yang berhubungan langsung dengan penelitian yang sedang diteliti dan secara ilmiah pengetahuan dapat dipertanggung jawabkan. Termasuk dalam referensi khusus adalah Jurnal-jurnal penelitian, hasil-hasil penelitian, Buletin penelitian, Tesis, Disertasi, Makalah, dan lain-lain.

Secara khusus tujuan dari studi pustaka ini untuk membangun Hipotesa terhadap Permasalahan yang hendak diteliti.

  1. Tahap 3 Membangun HIPOTESA
Setelah menemukan atau menentukan Konsep dan Teori, yang merupakan hasil dari studi pustaka (Telaah Pustaka) maka selanjutnya kita dapat membangun atau menentukan HIPOTESA. Hipotesa berarti Tesa berarti Teori, dan Hipo berarti Lemah,  Jadi Hipotesa adalah Teori mini yang disusun oleh Peneliti untuk kepentingan Penelitiannya. Hipotesa ini masih membutuhkan Pembuktian

  1. Tahap 4 menentukan VARIABEL
Tahapan untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang diperlukan untuk membuktikan hipotesa yang telah ditentukan lebih dahulu. Bagian-bagian dalam membuktikan hipotesa ini, disebut variabel. Variabel ini dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :

1)      Variabel Pokok
Sebagai variabel pokok yang melekat pada Tema (hipotesa), dan berkedudukan sebagai variabel yang terpengaruh (Depend Variable)

2)      Variabel Independen
Variabel yang mempengaruhi variabel pokok





  1. Tahap 5 Pembentukan DESAIN dan INSTRUMEN
Variabel-variabel independen yang mempengaruhi Variabel Pokok ini membentuk Desain dan instrumen yang dibutuhkan dalam penelitian

  1. Tahap 6 Pengambilan SAMPLING
Sampling ini berfungsi sebagai bahan dasar untuk membentuk desain, instrumen pada variabel dalam hipotesa.

  1. Tahap 7 Pengumpulan DATA
Dimaksud disini adalah DATA Primer yaitu data yang langsung diambil di lapangan. Data inilah yang sebagai sumber lapangan untuk membuktikan Hipotesa Peneliti.

  1. Tahap 7 TEMUAN (Findings)
Dari hasil pengelolaan Data Primer tersebut menghasilkan TEMUAN (Findings). Dalam Temuan ini dapat menghasilkan 2 (dua) hal yang berbeda, yaitu :

1)      Apabila Cocok/sesuai dengan Hipotesa maka Temuan itu sesuai dengan Teori-Teori sebelumnya

2)      Apabila Tidak cocok/sesuai dengan Hipotesa maka Temuan itu menghasilkan Teori baru.

Disinilah akhir dari rangkaian proses penelitian dengan menghasilkan Temuan (findings)

  1. Tahap 9 REPORT (LAPORAN) Hasil Penelitian
Laporan ini dapat berupa Tesis, yang kemudian diterbitkan dalam Jurnal, Buletin. Kemudian Buletin atau Jurnal ini, dijadikan kembali sebagai Referensi bagi peneliti-peneliti yang akan datang.
READ MORE - DEDUCTO-HYPOTHETICO VERIFIKATIF PROCESS Share

Friday, December 16, 2011

ANALISA UUD 1945 TUGAS POLITK HUKUM

BIDANG
PASAL

KAJIAN POLITIK HUKUM

Bidang  Bentuk Negara dan Kedaulatan Negara
Pasal 1,
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum bukan kekuasaan, dengan konfigurasi Politik yang Demokrasi karena disebutkan bahwa Kedaulatan negara ada di tangan Rakyat
Sistem Pemerintahan
Pasal 4 (1), Pasal 17, Pasal 6A & Pasal 7A
Sistem Pemerintahan yang dianut adalah Sistem Pemerintahan Presidentil, Krena :
1.      Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
2.      DPR tidak dapat memberhentikan Presiden, hanya mengusulkan kepada MPR. Yang memberhentikan Presiden MPR
3.      Menteri diangkat, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada Presiden
Pemerintahan Daerah
Pasal 18, 18A dan 18B
Pelaksanaan asas otonomi daerah dan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah , merupakan ciri-ciri Indonesia sebagai Negara Demokrasi. Memberikan hak kepada pemerintah Daerah dalam hal Pemilihan Kepala Daerah, DPR Daerah, Pelaksanaan dan tanggungjawab Pemerintahan di Daerah.
Pemilihan Umum
Pasal 22E
Untuk Pemilihan Pasangan Presiden dan wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat berdasarkan suara terbanyak yaitu > atau 50% suara yang melalui mekanisme Partai Politik. Sedangkan untuk Pemilihan DPR, DPD dan DPR Daerah dengan sistem Perwakilan berimbang (Proposional) dengan dasar pemilihan suara terbanyak per calon. Pelaksanaan Pemilu ini di selenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Bidang Penegakan Hukum dan Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24, 24B dan Pasal 24 C
Kekuasaan Kehakiman merupakan Kekuasaan yang merdeka dalam rangka penegakan hukum dan keadilan,
Pembentukan Komisi Yudisial yang berfungsi untuk melakukan pengangkatan Hakim Agung serta melaksanakan fungsi wewenang terhadap Martabat, kehormatan dan perilaku Hakim
Pasal 24 C Dasar pembentukan Mahkama Konstitusi yang berfungsi untuk melakukan uji maeriil produk Undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil PEMILU.
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 27 dan Pasal 28
Setiap Warga Negara sama kedudukannya dalam Hukum dan Pemerintahan, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dan wajib menjunjung tinggi hukum dan permerintahan.
Memiliki kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan  mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tertulis. Sebagai ciri-ciri Negara yang demokrasi
Hak Asasi Manusia
Pasal 28 A - I
Pada pasal ini diatur menganai Hak dasar manusia (orang) tidak terbatas hanya warga negara saja tetapi setiap orang memiliki hak dasar Hidup, mengembangkan diri , berserikat dan berkumpul, memeluk agama dan kepercayaan, dan lain-lain
Pendidikan dan Kebudayaan
Pasal 31 dan 32
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional
Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial
Pasal 33 dan 34
Asas perekonomian Nasional berdasarkan asas Demokrasi Ekonomi dengan prinsip kebersamaan serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional
Perubahan Undang-Undang Dasar
Pasal 37
Bahwa untuk mengubah UUD minimanl diajukan sekurang-kurangnya 1/3 jumlah anggota MPR. Dan minimal dihadiri sebanyak 2/3 jumlah anggota MPR
READ MORE - ANALISA UUD 1945 TUGAS POLITK HUKUM Share

Tuesday, December 13, 2011

CATATAN KULIAH HUKUM KEPAILITAN AFTER MID

CATATAN KULIAH KE 1
HUKUM KEPAILITAN
SETELAH MID SEMESTER
Bp. Herman Susetyo, SH, MS
Sabtu, 10 Desember 2011

AKIBAT PUTUSAN PAILIT

        I.      Akibat Kepalitan bagi Debitor
Pasal 24 ayat 1 UU Kepailitan No. 37 tahun 2004, mengatur bahwa :

Pasal 24
(1) Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

Jadi sejak Debitor dinyatakan pailit maka akibat hukum yang diterima debitor menurut pasal tersebut dicabut seluruh kewenangan untuk mengelola kekayaannya. Pengelolaan kekayaan debitor telah menjadi tanggung jawab KURATOR, dalam rangka untuk menyelesaikan seluruh kewajiban Debitor kepada semua Kreditornya.

Jika yang menjadi debitor Pailit itu Perseoran Terbatas (PT) maka organ PT masih tetap berfungsi dengan ketentuan jika dalam pelaksanaan fungsi masing-masing organ PT tersebut menyebabkan berkurangnya harta yang merupakan bagian dari harta pailit maka menjadi  wewenang KURATOR. (Penjelasan Pasal 24 ayat 1 UU Kepailitan)

Berakhirnya Organ PT dalam menjalankan fungsinya dan tanggung jawab masing-masing saat dinyatakan pailit, terjadi apabila :
1.      Disepakatinya usulan perdamain dari debitor kepada seluruh  kreditor maka Putusan pengesahan perdamaian yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, merupakan alas hak yang dapat dijalankan terhadap Debitor dan semua orang yang telah mengikatkan diri sebagai penanggung untuk perdamaian tersebut. (Pasal 287 UU Kepailitan)
2.      Perseroan Terbatas (PT) dinyatakan bubar. Pembubaran yang dimaksud disini adalah pembubaran PT yang berdasarkan Pasal 142 ayat 1 huruf e UU PT NO. 40 tahun 2007, yang menyatakan bahwa :

Pasal 142
(1)   Pembubaran Perseroan terjadi:
e.   karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

Apabila pada saat debitor dinyatakan Pailit, pada saat itu juga Debitor telah melakukan transfer dana melalui Lembaga perbankan atau lembaga selain bank maka tranfer dana tersebut wajib diteruskan (Pasal 24 ayat 3 UU Kepailitan), tetapi apabila transfer dana tersebut menyebabkan kerugian terhadap kreditor-kreditornya maka harus dilihat lebih dahulu Apabila transfer dana tersebut dilakukan oleh debitor 1 (satu) tahun sebelum dinyatakan pailit maka kurator dapat melakukan pembatalan transaksi yang dilakukan oleh debitor untuk kepentingan debitor yang dapat merugikan pihak kreditor (Pasal 42 UU Kepailitan) yang dikenal dengan ACTIO PAULIANA. Gugatan Actio Pauliana yang diatur dalam Pasal 42 UU Kepailitan ini harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1.      Debitor telah melakukan perbuatan Hukum dalam lapangan hukum harta keakyaan, Perbuatan Debitor ini dimaksudkan tidak harus melanggar hukum disyaratkan perbuatan debitor dapat merugikan kepentingan Kreditor
2.      Merupakan pembayaran atas atau pemberian jaminan terhadap utang yang belum jatuh tempo atau belum atau tidak dapat ditagih;
3.      Perbutan itu dilakukan oleh Debitor dalam tenggang waktu paling lama 1 tahun sebelum debiotr dinyatakan pailit
4.      Debitor atau pihak ke 3 mengetahui atau layaknya mengetahui bahwa perbutan hukum tersebut merugikan Kreditor.
Demikian juga yang terjadi apabila sebelum Debitor dinyatakan pailit sudah mencatatkan saham perusahaannya dalam Pasar Modal atau telah melaksanakan transaksi saham di Pasar modal, maka hal tersebut wajib untuk diselesaikan sesuai kesepakatan yang telah ada (Pasal 24 ayat 4 UU Kepailitan). Jika terjadi kerugian terhadap harta pailit yang disebabkan transakasi saham dan pencatatan saham PT di pasar modal maka penyelesaian terhdap masalah ini diserahkan kepada BAPEPAM sesuai dengan Pasal 5 huruf j, pasal 100 dan pasal 111 UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995, sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh di bidang Pasar Modal. (Penjelasan Pasal 24 ayat 4 UU Kepailitan). Kecuali apabila dapat dibuktikan pemegang saham melakukan kegiatan yang merugikan PT (Piercing The Corporate Viet) maka pemegang saham yang dimaksud harus mempertanggung jawabkan sampai dengan harta pribadi. Hal mana diatur dalam Pasal 3 ayat 2 UU PT , yang menyatakan Bahwa :

Pasal 3
(1) Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a.   persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Akibat hukum dengan debitor dinyatakan pailit juga berlaku terhadap tuntutan-tuntutan kreditor atau pihak ke 3  terhadap debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap Debitor (Pasal 29 UU Kepailitan). Tuntutan yang dimaksud, dilaksanakan pada Pengadilan Negeri bukan pada Pengadilan Niaga.

Sebaliknya apabila Debitor lah yang bertindak sebagai Pengugat terhadap Pihak ke 3, maka apabila perkara yang dimaksud sedang berjalan kemudian Debitor sebagai penggugat dinyatakan Pailit, akibat yang dapat terjadi adalah :
1.      Atas permohonan tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk memberikan kesempatan kepada tergugat memanggil Kurator untuk mengambil alih perkara dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim;
2.      Dalam hal Kurator tidak mengindahkan panggilan tersebut maka tergugat berhak memohon supaya perkara digugurkan, dan jika hal ini tidak dimohonkan maka perkara dapat diteruskan antara Debitor dan tergugat, di luar tanggungan harta pailit.
3.      Kurator berhak untuk menolak mengabil alih perkara tersebut
4.      Tanpa menunggu panggilan pun Kurator berwewenang untuk mengambil alih dan mengeluarkan Debitor dari perkara tersebut (Pasal 28 UU Kepailitan).


     II.      Penangguhan Eksekusi Penjaminan Hutang (Stay)
Mekanisme mengenai Stay atau dapat Penangguhan eksekusi penjaminan hutang penjelasannya terdapat dalam Pasal 56 UU No.37 Tahun 2007. adapun hal ini adalah suatu keadaan yang terjadi demi hukum (Operation by Law). Maksud dari Penangguhan pelaksanaan adalah masa-masa tertentu yaitu 90 hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan,hak untuk mengeksekusi jaminan hutang tersebut merupakan hak kelompok kreiditor tertentu, akan tetapi pelaksanaan hak tersebut baru dapat dilakukan setelah lewat masa masa penangguhan 3 bulan tersebut. Kelompok kreditor tertentu yang dimaksud, kreditor yang eksekusinya ditangguhkan adalah kelompok KREDITOR SEPARATIS.
Dalam Kepailitan terdapat 3 kelompok dari seluruh kreditor:

1.      Kelompok Kreditor Separatis, yaitu kreditor pemegang Hak Tanggungan, Hak Gadai ataupun Hak agunan atas kebendaan lainnya.
2.      Kelompok Yang Diistimewakan (Preferences), yaitu hal-hal yang terdapat dalam 1139 dan 1949 KUHPdt
3.      Kreditor Konkuren, yaitu kreditor yang tidak termasuk baik dalam kelompok kreditor separatis maupun kreditor yang diistimewakan.

Kreditor-kreditor yang mendapatkan penangguhan eksekusi penjaminan hutang:
1.      Pemegang Hak Tanggungan
2.      Pemegang Hak Gadai
3.      Pemegang Hak Agunan atas kebendaan lainnya, misalnya:
·         Fiducia
·         Pemegang Ikatan Panenan
·         Pemilik Barang Leasing
·         Pemilik Retention of Title (Penahanan Kepemilikan)
·         Pemberi sewa beli
·         Pemilik Hak Reklame/Reclaime, yaitu menuntut kembali barang yang telah ditangguhkan, hal ini diatur dalam 1145 BW.
Ada beberapa Hak dari kelompok kreditor separatis yang tidak terkena mekanisme stay, yaitu:
·         Penangguhan Eksekusi tidak berlaku pada tagihan kreditor.



CATATAN KULIAH KE 2
HUKUM KEPAILITAN
SETELAH MID SEMESTER
Bp. Herman Susetyo, SH, MS
Sabtu, 17 Desember 2011

KURATOR

       I.      Pengangkatan Kurator

Pasal 15
(1)  Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan.
(2)  Dalam hal Debitor, Kreditor, atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) tidak mengajukan usul pengangkatan Kurator kepada Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan diangkat selaku Kurator.
(3) Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.
(4) Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas, Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut:
a.   nama, alamat, dan pekerjaan Debitor;
b.   nama Hakim Pengawas;
c.   nama, alamat, dan pekerjaan Kurator;
d.   nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia Kreditor sementara, apabila telah ditunjuk; dan
e.   tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditor.

Pasal 70
(1) Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 adalah:
a. Balai Harta Peninggalan; atau
b. Kurator lainnya.
(2) Yang dapat menjadi Kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah:
a.   orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan
b.   terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.

KURATOR diangkatnya dengan diterimanya salinan Keputusan Pernyataan Pailit Debitor oleh Pengadilan Negeri. Setelah Debitor dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga maka dibentuklah :
1.      Hakim Pengawas
2.      Kurator
3.      Panitia Kreditor untuk sementara

Setelah ditunjuk Kurator maka dalam waktu 5 (lima) hari sejak diterimanya salinan keputusan Pailit Debitor. Kurator mengumumkan Putusan Pailit Debitor pada minimal 2 (dua) Surat Kabar Nasional, tentang :
1.      Identitas Debitor
2.      Identitas Kurator
3.      Identitas Hakim Pengawas
4.      Tanggal Pendaftaran Piutang
5.      Verifikasi Pajak
6.      Tanggal Rapat Kreditor ke I

    II.      Tugas-Tugas Kurator

a.      Secara Umum

1)   Pada pengertian secara umum tugas dari Kurator dalam Hal Pernyataan Pailit Debitor adalah mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU. (Pasal 1 angka 5 & Pasal 69 ayat 1)
2)      Dalam hal melaksanakan tugasnya, Kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu organ Debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan (Pasal 69 ayat 2 huruf a)
3)      Pada saat melaksanakan tugasnya Kurator dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam meningkatkan nilai harta pailit. Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga Kurator perlu membebani harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan hanya dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jaminan utang maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Hakim Pengawas (Pasal 69 ayat 3 dan 4).
4)      Dalam hal melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, tetap berwewenang meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 16 ayat 1).
5)    Jika dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat Debitor (Uit voor baar bij voor raad  Pasal 16 ayat 2).
6) Dalam melaksanakan tugasnnya Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 72 )
7)      Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Pasal 98)

b.      Secara Rinci

1)      Membuat Daftar Harta Pailit Debitor

Pasal 100
(1)  Kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai Kurator.
(2) Pencatatan harta pailit dapat dilakukan di bawah tangan oleh Kurator dengan persetujuan Hakim Pengawas.
(3)  Anggota panitia kreditor sementara berhak menghadiri pembuatan pencatatan tersebut.

§         Kurator paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatan sebagai Kurator, harus membuat pencatatan harta pailit. Segera setelah dibuat pencatatan harta pailit, Kurator harus membuat daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit, nama dan tempat tinggal Kreditor beserta jumlah piutang masing-masing Kreditor (Pasal 102).
§         Pencatatan harta pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100, daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, oleh Kurator diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan untuk dapat dilihat oleh setiap orang dengan Cuma-Cuma (Pasal 103).
§         Atas persetujuan Hakim Pengawas, Kurator dapat mengalihkan harta pailit sejauh diperlukan untuk menutup biaya kepailitan atau apabila penahanannya akan mengakibatkan kerugian pada harta pailit, meskipun terhadap putusan pailit diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 107 ayat 1).

2)      Membuat Daftar Piutang Kreditor

§         Sejak pernyataan pailit diucapkan, Hakim Pengawas paling lambat 14 hari harus menetapkan :
a.   batas akhir pengajuan tagihan;
b.   batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
c.   hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat Kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang (Pasal 113).

§         (Pasal 114) Kurator paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua Kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).

§         Semua Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda (Pasal 115).
.
§         Kurator wajib:
a.   mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh Kreditor dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor Pailit; atau
b.   berunding dengan Kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima (Pasal 116 ayat 1).
.
§         Kurator wajib memasukkan piutang yang disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar tersendiri (Pasal 117)

§         Dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, dibubuhkan pula catatan terhadap setiap piutang apakah menurut pendapat Kurator piutang yang bersangkutan diistimewakan atau dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda bagi tagihan yang bersangkutan dapat dilaksanakan (Pasal 118 ayat 1)

§         Apabila Kurator hanya membantah adanya hak untuk didahulukan atau adanya hak untuk menahan benda, piutang yang bersangkutan harus dimasukkan dalam daftar piutang yang untuk sementara diakui berikut catatan Kurator tentang bantahan serta alasannya (Pasal 118 ayat 2).

 III.      Rapat Pencocokan Piutang Kreditor

Rapat pencocokan Piutang antara Kurator dengan Pihak Kreditor dan Debitor Pailit, menjadi tahap yang penting bagi semua pihak yang terlibat dalam Kepailitan, mengingat berpengaruh terhadap Hak Suara Kreditor dalam penyelesaian Kepailitan. Bagi Kreditor yang Piutangnya diakui maka akan memperoleh Hak Suara dalam Rapat usulan Perdamaian dari Debitor.
Sebelum diadakan rapat pencocokan piutang, terlebih dahulu Kurator membuat daftar Piutang yang terdiri dari (Pasal 117) :
1.      Daftar Piutang Kreditor yang DIAKUI sementara oleh Kurator
2.      Daftar Piutang Kreditor yang DIBANTAH oleh Kurator
Pembantahan terhadap untang Kreditor ini, juga diterangkan alasan pembantahannya

Berbekal dari Daftar Piutang yang diakui tersebut dan setelah Debitor Pailit mengetaui daftar tersebut, Kurator wajib memberitahuan kepada kreditor disertai dengan surat pemanggilan untuk menghadiri rapat pencocokan piutang dengan menyebutkan rencana perdamaian (Pasal 120).
Bagi Debitor Pailit WAJIB DATANG SEDIRI dalam rapat pencocokan piutang, dengan pertimbangan sebagai berikut (Pasal 121 ayat 1 dan 2) :
a.       agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim Pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit.
b.      Agar Kreditor dapat meminta keterangan dari Debitor Pailit mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui Hakim Pengawas
Sedangkan bagi Kreditor dapat diwakilkan kepada kuasanya.

Agenda acara dalam Rapat Pencocokan Piutang ini, mengenai (Pasal 124) :
1.      Pembacaan Daftar Piutang oleh Hakim Pengewas baik yang diakui sementara maupun Daftar Piutang yang dibantah oleh Kurator;
2.      Kurator memberikan keterangan mengenai tiap piutang dan penempatannya dalam daftar, yang diminta oleh seluruh Kreditur baik yang masuk Daftar Piutang DIAKUI maupun yang masuk dalam Daftar Piutang yang DIBANTAH;
3.      Kreditor dapat melakukan pembatahan mengenai kebenaran piutangnya dalam Daftar Piutang yang dibuat oleh Kurator;
4.      Kreditor dapat meminta adanya Hak untuk didahulukan, Hak untuk menahan suatu Benda, atau bahkan Kreditor dapat menyetujui Batahan yang dikemukakan oleh Kurator
5.      Kurator yang berhak untuk :
a.       menarik kembali pengakuan sementara atau bantahannya, atau
b.      menuntut supaya Kreditor menguatkan dengan SUMPAH tentang kebenaran piutangnya yang tidak dibantah oleh Kurator atau oleh salah seorang Kreditor.
6.      Memberikan kesempatan bagi ahli waris atau yang menggantikan Kreditor yang telah meninggal dunia, untuk menerangkan di bawah sumpah bahwa mereka dengan itikad baik percaya piutang itu ada dan belum dilunasi.
7.      Sedangkan untuk Piutang yang TIDAK DIBANTAH dalam rapat pencocokan Piutang, wajib dipindahkan ke dalam daftar piutang yang diakui, yang dimasukkan dalam berita acara rapat.
8.      Dalam hal dianggap perlu untuk menunda rapat maka Hakim Pengawas menentukan rapat berikutnya yang diadakan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah rapat ditunda, tanpa suatu panggilan.
9.      Berita acara rapat ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan panitera pengganti.

Dalam hal pengambilan sumpah yang dilakukan oleh Kreditor atau yang mewakilinya melalui Kuasa, dapat dilakukan (Pasal 125):

a.      Pada saat Rapat Pencocokan Piutang
Apabila SUMPAH dilakukan pada saat Rapat Pencocokan diselelnggaran maka wajib untuk dimasukan dalam Berita Acara Rapat.

b.      Pada hari lain yang telah ditentukan oleh Hakim Pengawas.
Dalam hal Kreditor yang diperintahkan mengucapkan sumpah tidak hadir atau tidak diwakili dalam rapat maka panitera wajib memberitahukan kepada Kreditor adanya perintah mengucapkan sumpah dan hari yang ditentukan untuk pengucapan sumpah tersebut dan dibuatkan berita acara tersendiri.

Piutang yang oleh Kurator diperintahkan agar dikuatkan dengan SUMPAH oleh Kreditor maka diakui sebagai PIUTANG DENGAN SYARAT. Yaitu setelah sumpah yang diucapkan oleh Kreditor dimasukan dalam Berita Acara Rapat atau Berita Acara Sumpah ( Pasal 126 ayat 3 ). Pengakuan suatu piutang yang dicatat dalam berita acara rapat mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam kepailitan dan pembatalannya tidak dapat dituntut oleh Kurator, kecuali berdasarkan alasan adanya penipuan ( Pasal 126 ayat 5 ).
Kemudian apabila di dalam rapat Pencocokan piutang terjadi Batahan yang tidak dapat didamaikan oleh Hakim Pengawas Hakim Pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di pengadilan. Apabila Pada saat sidang di Pengadlantersebut Pihak Kreditor yang meminta pencocokan tidak hadir dalam Persidangan maka yang bersangkutan dianggap telah menarik kembali permintaannya, sedangkan sebaliknya apabila pihak yang melakukan bantahan tidak datang menghadap maka yang bersangkutan dianggap telah melepaskan bantahannya, dan hakim harus mengakui piutang yang bersangkutan (Pasal 127).
Pada saat penyelesaian yang dimaksud dalam Pasal 127 diatas belum selesai, kemudian pada saat itu juga Pengadilan Niaga mensahkan permohonan PERDAMAIN DEBITOR maka penyelesaian tersebut DITANGGUHKAN DEMI HUKUM (Pasal 128 ayat 1). kecuali apabila surat-surat perkara telah diserahkan kepada hakim untuk diputuskan dengan ketentuan bahwa:
a. dalam hal piutang diterima maka piutang dianggap diakui dalam kepailitan;
b. biaya perkara menjadi tanggungan Debitor Pailit.
Perkara yang sedang ditangguhkan itu dengan adanya pengesahan Perdamaian maka peran Kurator digantikan oleh Debitor.



CATATAN KULIAH KE 3
HUKUM KEPAILITAN
Bp. Herman Susetyo, SH, MS
Sabtu, 7 Januari  2012

 

 

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

 

 

A.     Pengertian PKPU
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun PKPU ini sangat berkaitan erat dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi) debitur terhadap hutang-hutangnya kepada pihak kreditor.
Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tundaan pembayaran hutang (suspension of payment atau Surseance van Betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim Pengadilan Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut. Jadi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini pada dasarnya merupakan sejenis legal moratorium (rencana perdamaian).

B. Maksud dan Tujuan PKPU
Adapun yang menjadi maksud dan tujuan PKPU adalah sesuai dengan yang tercantum pada ketentuan pasal 222 ayat (2) dan (3) UU No. 37 Tahun 2004 :

“(2)  Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
(3)     Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya."

Dimana dari pasal tersebut dapat diartikan bahwa secara umum, maksud dari PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk memungkinkan seseorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.

C.  Jenis-jenis PKPU
Berdasarkan sifatnya, PKPU dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :

1.      PKPU Sementara
Merupakan PKPU yang penetapannya dilakukan sebelum sidang dimulai, dan harus dikabulkan oleh pengadilan setelah pendaftaran dilakukan.

2.      PKPU Tetap
Merupakan PKPU yang ditetapkan setelah sidang berdasarkan persetujuan dari para kreditor.

D.  Para Pihak dalam PKPU
Para pihak yang terkait dalam PKPU antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Debitor
Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan debitor adalah orang yang mempunyai hutang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.
Sesuai dengan pasal 222 UU No. 37 tahun 2004, debitor yang mempunyai lebih dari satu kreditor dapat mengajukan PKPU bila ia tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Maksud pengajuan oleh debitor ini ialah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Debitor yang mengajukan ini dapat berupa debitor perorangan ataupun debitor badan hukum

2.      Kreditor
Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka (2) UU No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.Kreditor dalam PKPU adalah :

a.       Kreditor separatis
Diatur dalam pasal 56 UU No. 37 Tahun 2004. Yang dimaksud dengan kreditor separatis adalah kreditur yang memiliki jaminan hutang kebendaan (hak jaminan), seperti pemegang hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia, dll.

b.      Kreditor preferen
Berdasarkan pada pasal 1139 dan pasal 1149 KUHPer, yang dimaksud dengan kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas sesuai dengan yang diatur oleh Undang-undang yang bersangkutan.

c.       Kreditor konkuren
Berdasarkan pada Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata. Kreditor golongan ini adalah semua Kreditor yang tidak masuk Kreditur separatis dan tidak termasuk Kreditur preferen.

Berdasarkan pada pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya.

3.   Bank Indonesia
      Apabila debitor adalah sebuah bank, maka bank Indonesia yang berwenang mengajukan PKPU. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)

4.   Badan pengawas pasar modal
      Apabila yang menjadi pihak debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)

5.   Menteri Keuangan
      Apabila yang menjadi debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)

6.   Hakim pengawas
      Selain mengangkat pengurus, setelah putusan PKPU sementara dikabulkan oleh pengadilan maka pada saat itu juga diangkat Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas ini pada dasarnya juga sama dengan tugas Hakim Pengawas dalam kepailitan, yaitu mengawasi jalannya proses PKPU. Apabila diminta oleh pengurus, Hakim pengawas dapat mendengar saksi atau memerintahkan pemerinsaan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU, dan saksi tersebut dipanggil sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Hakim Pengawas setiap waktu dapat memasukkan ketentuan yang dianggap perlu untuk kepentingan Kreditor berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang tetap, berdasarkan:
a. prakarsa Hakim Pengawas
b. permintaan pengurus; atau
c. permintaan satu atau lebih Kreditor.

7.   Pengurus
      Adapun dengan mengacu pada ketentuan yang terkandung dalam pasal 234 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, yang dapat menjadi pengurus adalah :
      Perorangan yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitur. Telah terdaftar pada departemen yang bersangkutan Pengurus harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitor atau kurator. (Pasal 234 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004)

8.   Panitia kreditor
      Menurut Pasal 231, Pengadilan harus mengangkat panitia kreditor apabila :
a.   Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang meliputi utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor; atau
b.   Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor yang mewakili paling sedikit ½ (satu per dua) bagian dari seluruh tagihan yang diakui.
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pengurus harus meminta dan
mempertimbangkan saran dari panitia kreditor ini.

9.   Ahli
      Setelah PKPU dikabulkan Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta Debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Laporan ahli harus memuat pendapat yang disertai dengan alasan lengkap tentang keadaan harta Debitor dan dokumen yang telah diserahkan oleh Debitor serta tingkat kesanggupan atau kemampuan Debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada Kreditor, dan laporan tersebut harus sedapat mungkin menunjukkan tindakan yang harus diambil untuk dapat memenuhi tuntutan Kreditor. Laporan ahli harus disediakan oleh ahli tersebut di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma dan penyediaan laporan tersebut tanpa dipungut biaya.




CATATAN KULIAH KE 4
HUKUM KEPAILITAN
Materi lanjutan PKPU
Bp. Herman Susetyo, SH, MS
Sabtu, 14 Januari  2012

PROSEDUR PKPU

1.   Permohonan
Permohonan PKPU harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga di daerah tempat kedudukan hukum debitur dengan ketentuan :
a.       Apabila debitur telah meninggalkan wilayah Negara Indonesia, pengadilan yang berwenang untuk menjatuhkan permohonan putusan atas PKPU adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur.
b.      Apabila debitur adalah persero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan.
c.       Apabila debitur tidak berkedudukan di wilayah Negara Indonesia akan tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Indonesia, maka pengadilan yang berwenang memutuskannya adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur.
d.      Apabila debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukannya hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.Perlu diketahui juga bahwa permohonan ini juga harus dilampiri dengan rencana perdamaian.

Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat :
-     Sifat 
-     Jumlah piutang
-     Jumlah hutang debitor beserta surat bukti secukupnya, 
-     Dan apabila yang mengajukan permohonan adalah kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.

2.   Surat permohonan
Surat permohonan berikut lampirannya (bila ada) harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang secara cuma-cuma.
Sistematika dari surat permohonan PKPU itu sendiri paling tidak memuat hal-hal sebagai berikut :
a.   Tempat dan tanggal permohonan
b.   Alamat pengadilan Niaga yang berwenang
c.   Identitas Pemohon dan advokatnya
d.   Uraian tentang alasan permohonan PKPU
e.   Permohonan  Berisikan antara lain :
-  Mengabulkan permohonan pemohon
-  Menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus
f.    Tanda tangan debitor dan advokatnya

Sementara kelengkapan berkas yang harus disiapkan sebagai syarat permohonan PKPU pada Pengadilan Niaga, meliputi :
a.   Surat permohonan bermeterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga
b.   Identitas diri debitur
c.   Permohonan harus ditandatangani oleh Debitur dan Penasehat  Hukumnya
d.   Surat kuasa khusus yang asli (penunjukkan kuasa pada orangnya bukan kepada Law Firmnya)
e.   Ijin Penasehat Hukum/Kartu Penasehat Hukum
f.    Nama dan tempat tinggal/kedudukan para kreditur konkuren disertai jumlah tagihannya masing-masing pada debitur
g.   Neraca pembukuan terakhir
h.   Rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh  atau sebagian utang kepada Kreditur Konkuren (Jika ada).

3.   Pemeriksaan
Apabila permohonan PKPU dan kepailitan diperiksa pada saat yang bersamaan, maka permohonan PKPU haruslah diputus terlebih dahulu.

4.   PKPU (S) SEMENTARA
Sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam PKPU sementara adalah sebagai berikut :
a.       Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang HAKIM PENGAWAS dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 atau lebih PENGURUS yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.

b.      Dalam hal permohonan diajukan oleh kreditor, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU utang sementara dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.

c.       Segera setelah putusan PKPU sementara diucapkan, pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Dalam hal Debitor tidak hadir dalam sidang penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit dalam sidang yang sama.

d.      Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 surat kabar harian yang ditunjuk oleh hakim pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama hakim pengawas dan nama serta alamat pengurus. Apabila pada waktu PKPU sementara diucapkan sudah diajukan rencana perdamaian oleh debitor, hal ini harus disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan. PKPU sementara berlaku sejak tanggal putusan PKPU tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang.

e.       Pada hari sidang Pengadilan harus mendengar Debitor, Hakim Pengawas, pengurus dan Kreditor yang hadir, wakilnya, atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa. Dalam sidang itu setiap Kreditor berhak untuk hadir walaupun yang bersangkutan tidak menerima panggilan untuk itu.

f.        Apabila rencana perdamaian dilampirkan pada PKPU sementara atau telah disampaikan oleh debitor sebelum sidang dilangsungkan, maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dilakukan, sepanjang belum ada putuan pengadilan yang menyatakan bahwa PKPU tersebut berakhir. jika kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan debitor, kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, pengurus, dan Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya.


5.   PKPU (T) TETAP
Adapun beberapa hal yang berkaitan dengan prosedur PKPU tetap adalah sebagai berikut :
a.       Bila PKPU tetap tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, maka dalam jangka waktu 45 hari terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan, maka debitor demi hukum dinyatakan pailit.
b.      Setelah dilakukan pemeriksaan, Majelis Hakim dapat mengabulkan PKPU sementara menjadi PKPU tetap dengan syarat sebagai berikut :
c.       Disetujui lebih dari 1/2 jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
d.      Disetujui lebih dari 1/2 jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut



CATATAN KULIAH KE 5
HUKUM KEPAILITAN
Materi lanjutan PKPU
Bp. Herman Susetyo, SH, MS
Sabtu, 21 Januari  2012


Akibat Hukum dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


Sejak diterimanya pemohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang oleh debitur, maka terjadilah beberapa akibat hukum terhadap debitur yang bersangkutan. Akibat hukum tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Debitor Kehilangan Independensinya
Berbeda dengan kepailitan dimana debitor menyerahkan kewenangan pengurusan harta kekayaan kepada kurator. Dalam PKPU, kewenangan dalam kepengurusan harta tersebut masih berada di tangan debitor itu sendiri. Hanya saja kebebasan debitor memang dibatasi dengan keberadaan pengurus selaku pengawas (Pasal 240 UU No. 37 Tahun 2004).

2.      Jika Debitur Telah Minta Dirinya Pailit, Dia Tidak Dapat Lagi Minta Penundaan Pembayaran Hutang
Apabila dalam persidangan debitur sudah langsung meminta dirinya untuk dipailitkan, maka ia tidak bisa lagi meminta PKPU untuk dilaksanakan.

3.      Jika Penundaan Pembayaran Hutang Berakhir, Debitur Langsung Pailit
Berdasarkan pada Pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga harus menyatakan debitur pailit selambat-lambatnya hari berikutnya (tanpa hak untuk mengajukan kasasi atau peninjauan kembali) apabila : Jangka waktu PKPU sementara berakhir karena kreditur konkuren tidak menyetujui pemberian PKPU secara tetap. Perpanjangan PKPU telah diberikan, akan tetapi sampai dengan tanggal batas terakhir penundaan pembayaran hutang (maksimum 270 hari) belum juga tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian.

4.      Debitur Tidak Dapat Dipaksa Membayar Hutang dan Pelaksanaan Eksekusi Ditangguhkan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 242 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 bahwa selama berlangsungnya PKPU, maka debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar hutang-hutangnya serta semua tindakan eksekusi yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan hutang tersebut juga harus ditangguhkan.

5.      Perkara yang Sedang Berjalan Ditangguhkan
Berdasarkan pada Pasal 243 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, sebenarnya secara prinsip PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah mulai diperiksa ataupun menghalangi pengajuan perkara yang baru. Akan tetapi, terhadap perkara yang semata-mata mengenai tuntutan pembayaran suatu piutang yang telah diakui oleh debitur, sementara kreditur tidak mempunyai kepentingan untuk mendapatkan suatu putusan guna melaksanakannya kepada pihak ketiga setelah dicatatnya pengakuan tersebut, maka hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal tersebut hingga berakhirnya PKPU.

6.      Debitur Tidak Boleh Menjadi Penggugat atau Tergugat
Berdasarkan pada Pasal 243 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, Debitur yang telah ditunda kewajibannya pembayaran hutangnya tidak boleh beracara di peradilan baik sebagai penggugat ataupun sebagai tergugat dalam perkara yang berhubungan dengan harta kekayaannya, kecuali dengan bantuan dari pihak pengurus.

7.      Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku Bagi Kreditur Preferens
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 bahwa PKPU tidak berlaku bagi tagihan dari kreditur separatis, atau terhadap tagihan yang diistimewakan terhadap barang-barang tertentu milik debitur. Maka jelas bahwa terhadap debitur dengan hak istimewa, debitur juga harus membayar hutangnya secara penuh. Apabila pembayaran hutang tidak mencukupi dari jaminan tersebut, kreditur preferen masih mendapatkan haknya sebagai kreditur konkuren, termasuk di dalamnya hak untuk mengeluarkan suara selama PKPU.

8.      Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku terhadap Beberapa Jenis Biaya Penting
Dalam Pasal 244 dikatakan bahwa PKPU tidak berlaku terhadap beberapa jenis biaya tertentu (misal : tagihan yang dijamin dengan gadai)

9.      Hak Retensi yang Dipunyai oleh Kreditur Tetap Berlaku
Bahwa terhadap barang-barang yang ditahan oleh pihak kreditur wajib dikembalikan ke dalam harta pailit dengan membayar terhadap hutang yang bersangkutan jika hal tersebut menguntungkan harta pailit. (Pasal 245 UU No. 37 tahun 2004)
10.  Berlaku Masa Penangguhan Eksekusi Hak Jaminan
Seperti halnya kepailitan, PKPU juga mengenal apa yang disebut dengan masa penangguhan pelaksanaan eksekusi hak jaminan hutang. Hanya saja lama pelaksanaan masa penangguhannya berbeda dimana apabila kepailitan adalah selama 90 hari, maka lama masa penangguhan dalam PKPU adalah 270 hari (maksimum). Diatur dalam pasal 246 UU No. 37 Tahun 2004.

11.  Bisa Dilakukan Kompensasi
Berdasarkan pada Pasal 247 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, kreditur dapat melakukan kompensasi atas hutang dan piutangnya terhadap debitur asalkan hutang piutang tersebut sudah terjadi sebelum mulai berlakunya PKPU.

12.  Kepastian terhadap Perjanjian Timbal Balik
Dalam PKPU, kreditur dapat meminta kepastian mengenai kelanjutan pelaksanaan perjanjian yang sifatnya timbal balik dalam waktu tertentu. Akan tetapi perlu juga diingat bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi perjanjian timbal balik yang prestasinya harus dilakukan sendiri oleh pihak debitur.

13.  Perjanjian di Bursa Komoditi Berakhir
Berdasarkan pada Pasal 250 UU No. 37 Tahun 2004, apabila telah dibuat suatu kontrak komoditi di bursa komoditi sementara penyerahan barang akan dilakukan di waktu tertentu dimana debitur telah mengajukan PKPU, maka kontrak tersebut menjadi hapus akan tetapi tidak menghilangkan hak bagi lawan untuk mengajukan klaim ganti rugi.

14.  Debitur Dapat Mengakhiri Sewa-Menyewa
Apabila keputusan pengadilan niaga tentang PKPU sementara , pihak debitur sebagai penyewa dapat mengakhiri sewa tersebut asalkan dilakukan pemberitahuan untuk pemutusan sewa dengan jangka waktu sebagai berikut (Pasal 251 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 :
Jangka waktu pemberitahuan sesuai dengan kontrak yang berlaku atau jika tidak ada dalam kontrak, maka Jangka waktu pemberitahuan sesuai dengan kelaziman setempat, atau Jangka waktu 3 bulan sudah dianggap cukup Akan tetapi perlu diingat bahwa ketentuan ini hanya berlaku jika debitur adalah pihak penyewa.

15.  Dapat Dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja
Pasal 252 UU No. 37 Tahun 2004 mengatur tentang pemutusan hubungan kerja dalam hal PKPU. Adapun ini ditujukan untuk membantu debitor dalam melangsungkan kegiatan usahanya selama PKPU dilakukan.

16.  Pembayaran kepada Debitur yang Telah Memperoleh Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Membebaskan Harta Kekayaan
Salah satu akibat hukum dari PKPU adalah dalam hal pembayaran yang dilakukan kepada debitur yang ditunda kewajiban pembayaran hutangnya. Untuk hal itu berlaku kewajiban sebagai berikut :
Pembayaran atas hutang yang timbul sebelum putusan PKPU sementara dijatuhkan, tetapi pembayarannya dilakukan setelah putusan PKPU dan tapi diumumkan. Maka dalam hal ini tidak membebaskan si pembayar tersebut dari harta kekayaan, kecuali dapat dibuktikan bahwa si pembayar tersebut tidak mengetahui tentang telah adanya putusan PKPU tersebut

17.  Pembayaran tersebut sejauh membawa keuntungan terhadap harta kekayaan tersebut
Apabila hutang itu telah dibayarkan setelah adanya putusan PKPU sementara, tetapi setelah adanya pengumuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, si pembayar juga tidak dibebaskan dari kewajibannya terhadap harta kekayaan, kecuali :
a.       Pembayar tidak mengetahui pengumuman PKPU sementara tersebut
b.      Pembayaran tersebut sejauh membawa keuntungan bagi harta kekayaan.
Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku untuk Peserta Debitur dan Kreditur Berdasarkan pada Pasal 254 UU No. 37 Tahun 2004, sejauh yang menyangkut dengan para peserta debitur dan garantor (penjamin), maka putusan PKPU dinyatakan tidak berlaku. Artinya garantor tetap berkewajiban penuh sebagai garantor, demikian juga dengan pihak peserta debitur untuk berkewajiban penuh sesuai kontrak dan / atau peraturan perundang-undangan yang berlaku

18.  Tidak ada Actio Pauliana
Berdasarkan pada Pasal 1341 KUHPerdata, yang dimaksud dengan Actio Pauliana adalah hak kreditor untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak wajib dilakukan oleh debitor dengan nama apapun yang merugikan para kreditor sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan baik debitor maupun pihak dengan atau untuk siapa debitor itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan para kreditor. Adapun dalam hal PKPU, Actio Pauliana tidak dapat dilakukan.

19.  Perbuatan Debitur Tidak Dapat DIbatalkan oleh Kurator
Dalam hal PKPU, selama debitur diberikan kewenangan oleh pengurus sesuai dengan pasal 240 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, maka setelah debitur tersebut dinyatakan pailit, perbuatan debitur tersebut haruslah dianggap sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh kurator dan mengikat harta pailit

20.  Penundaan Kewajban Pembayaran Hutang Dapat Dilakukan Berkali-kali
Tidak ada larangan untuk melakukan penundaan hutang lebih dari satu kali bagi debitur yang sama. Bahkan, apabila PKPU diajukan dalam 2 bulan semenjak berakhirnya PKPU yang pertama, berlaku ketentuan sebagai berikut :
Jangka waktu penangguhan eksekusi barang jaminan oleh pihak kreditur separatis seperti yang dimaksud dalam PAsal 42 dan Pasal 44 UU No. 37 Tahun 2004 berlaku terhitung sejak permulaan berlakunya PKPU yang pertama.
Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitur atas kewenangan yang diberikan oleh pengurus dalam PKPU yang pertama, tetap berlaku terhadap PKPU yang kedua

21.  Berlaku Ketentuan Pidana
Apabila debitur nekat atau karena ketidaktahuannya itu melakukan sendiri hal-hal terkait pengurusan harta kekayaan tanpa sepengetahuan pengurus, maka konsekuensinya adalah :
Perbuatan tersebut tidak membawa perngaruh terhadap harta debitur, kecuali membawa manfaat bagi harta debitur tersebut. (Pasal 240 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004) Debitur dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan karena melakukan pidana yang termasuk dalam pelanggaran terhadap ketertiban umum
.
G.  Berakhirnya PKPU
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diakhiri dengan berbagai macam cara, meliputi :
1.      Karena kesalahan debitur
a.   Sekalipun PKPU secara tetap telah disetujui baik oleh kreditur separatis maupun konkuren, PKPU tersebut dalam prosesnya dapat diakhiri oleh pengadilan atas inisiatif atau permohonan dari :
1)      Hakim Pengawas
2)      Pengurus Satu atau lebih kreditur
3)      Pengadilan Niaga
Dengan alasan sebagai berikut :
- Debitur melakukan pengurusan harta kekayaan dengan itikad buruk
- Debitur mencoba merugikan kreditur
b.   Debitur melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 226 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu Karena melakukan pengurusan harta tanpa diberikan kewenangan oleh pengurus
c.   Debitur lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan oleh pengadilan niaga pada saat atau setelah PKPU ataupun lalai dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh para pengurus.

2.      Keadaan harta debitor sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan PKPU
Keadaan debitur sudah sedemikian rupa sehingga tidak bisa diharapkan lagi untuk memenuhi kewajiban kepada kreditur.

3.      Dicabut karena keadaan harta debitor sudah membaik
Berdasarkan pada pasal 259 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, apabila selama berlangsungnya PKPU debitur sudah merasa bahwa keadaan hartanya sudah membaik sehingga dia sudah dapat melakukan pembayaran-pembayaran atas hutang-hutangnya, maka debitur tersebut dapat mengajukan kepada pengadilan niaga agar penangguhan kewajiban pembayaran hutang dicabut. Tetapi dalam pencabutannya, Pengadilan niaga juga akan memanggil pengurus berkenaan dengan pengabulan permohonan pencabutan tersebut.

4.      Karena tercapai perdamaian
Diatur dalam pasal 281 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi apabila rencana persetujuan telah disetujui oleh kreditur konkuren dan kreditur separatis dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

5.      Karena rencana perdamaian ditolak
Diatur dalam pasal 289 UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi apabila rencana perdamaian ditolak oleh kreditor separatis dan kreditor konkuren.

6.      Karena perdamaian tidak disahkan oleh pengadilan niaga
Diatur dalam pasal 285 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004. Hal ini dapat terjadi apabila : Harta debitur, termasuk hak retensi, jauh lebih besar dari jumlah yang disetujui dalam perdamaian

7.      Apabila pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin
Perdamaian itu tercapai karena adanya penipuan atau persekongkolan antara satu dengan lain debitur, atau karena upaya-upaya tidak jujur yang lain Biaya yang telah dikeluarkan oleh pengurus dan para ahli belum dibayar atau tidak diberikan jaminan yang cukup untuk membayarnya.

8.      Karena PKPU dibatalkan
Diatur dalam pasal 291 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi karena debitur lalai dalam melaksanakan isi perdamaian yang telah disepakati.

9.      Masa PKPU terlampaui
Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Apabila hingga batas waktu maksimal PKPU (270 hari), perdamaian belum juga memperoleh kekuatan yang pasti

10.  Tidak tercapai perdamaian
Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Apabila sampai denga hari yang ke-270, rencana perdamaian belum juga disetujui oleh para kreditur.

11.  Karena PKPU secara tetap tidak disetujui oleh kreditur
Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Proses PKPU dapat juga diakhiri apabila setelah jangka waktu 45 hari (jangka waktu untuk penundaan sementara kewajiban pembayaran hutang) para kreditur konkuren tidak menyetujui diberikannya PKPU secara tetap.



READ MORE - CATATAN KULIAH HUKUM KEPAILITAN AFTER MID Share