Monday, July 30, 2012

JANJI-JANJI DALAM APHT

JANJI-JANJI DALAM  APHT BERDASARKAN UU. NO. 4 TH. 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN
Menurut Pasal 11 (2) UUHT dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dicantumkan janji-janji sebagai berikut :

1.   Pihak Pertama tidak akan menyewakan kepada pihak lain Obyek HaTanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Kedua, termasuk menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewadimuka jika disetujui disewakan atau sudah disewakan. (sesuai ketentuan padaPasal 11 (2) huruf a UUHT)
2.   Pihak Pertama tidak akan mengubah atau merombak semua bentuk atau tatasusunan Obyek Hak Tanggungan, termasuk mengubah sifat dan tujuankegunaannya baik seluruhnya maupun sebagian, tanpa persetujuan tertulis terlebihdahulu dari Pihak Kedua. (sesuai ketentuan pada Pasal 11 (2) huruf b UUHT)
3.   Dalam hal Debitor sungguh-sungguh cidera janji, Pihak Kedua oleh PihaPertama dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan, dan untuk itu kuasa untuk mengelola Obyek Hak Tanggungan berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak Obyek Hak Tanggunganyang bersangkutan. (sesuai ketentuan pada Pasal 11 (2) huruf c UUHT)
4.   Jika Debitor tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi hutangnya, berdasarkan perjanjian utang-piutang tersebut di atas, oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua selakuPemegang Hak Tanggungan Peringkat Pertama dengan akta ini diberi danmenyatakan menerima kewenangan, dan untuk itu kuasa, untuk tanpa persetujuanterlebih dahulu dari Pihak Pertama….. (sesuai ketentuan pada Pasal 6 jo. Pasal 11(2) huruf e UUHT)
5.   Pihak Kedua sebagai Pemegang Hak Tanggungan Pertama atas Obyek Hak Tanggungan tidak akan membersihkan Hak Tanggungan tersebut kecuali dengan persetujuan dari Pemegang Hak Tanggungan Kedua dan seterusnya, walaupunsudah dieksekusi untuk pelunasan piutang Pemegang Hak Tanggungan. (sesuaiketentuan pada Pasal 11 (2) huruf f UUHT)
6.   Tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Kedua, Pihak Pertama tidak akan melepaskan haknya atas Obyek Hak Tanggungan atau mengalihkannyasecara apapun untuk kepentingan Pihak Ketiga. (sesuai ketentuan pada Pasal 11(2) huruf g UUHT)
7.   Dalam Obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh Pihak Pertama ataudicabut haknya untuk kepentingan umum, sehingga hak Pihak Pertama atas Obyek Hak Tanggungan berakhir, Pihak Kedua dengan akta ini oleh Pihak Pertamadiberi dan menyatakan menerima kewenangan , dan untuk itu kuasa, untuk menuntut atau menagih dan menerima uang ganti rugi dan/atau segala sesuatuyang karena itu dapat ditagih dari Pemerintah dan/atau Pihak Ketiga lainnya,untuk itu menandatangani dan menyerahkan tanda penerimaan uang danmelakukan tindakan-tindakan yang perlu dan berguna serta dipandang baik olehPihak Kedua serta selanjutnya mengambil seluruh atau sebagian uang ganti rugidan lain-lainnya tersebut guna pelunasan piutangnya. (sesuai ketentuan pada Pasal11 (2) huruf i UUHT)
8.   Pihak Pertama akan mengasuransikan Obyek Hak Tanggungan………….; Dalamhal terjadi kerugian karena kebakaran atau malapetaka lain atas Obyek Hak Tanggungan Pihak Kedua dengan akta ini diberi dan menyatakan menerimakewenangan, dan untuk itu kuasa, untuk menerima seluruh atau sebagian ganti kerugian asuransi yang bersangkutan sebagai pelunasan utang Debitor. (sesuaiketentuan pada Pasal 11 (2) huruf j UUHT)
9.   Pihak Kedua dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan, danuntuk itu kuasa, untuk, atas biaya Pihak Pertama, melakukan tindakan yangdiperlukan untuk menjaga dan mempertahankan serta menyelamatkan Obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak atas Obyek Hak Tanggungankarena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undangundang…. (sesuaiketentuan pada Pasal 11 (2) huruf d UUHT)
10. Jika Pihak Kedua mempergunakan kekuasaannya untuk menjual Obyek Hak Tanggungan, Pihak Pertama akan memberikan kesempatan kepada yang berkepentingan untuk melihat Obyek Hak Tanggungan yang bersankutan padawaktu yang ditentukan oleh Pihak Kedua dan segera mengosongkan atau suruhmengosongkan dan menyerahkan Obyek Hak Tanggungan…. (sesuai ketentuan pada Pasal 11 (2) huruf k UUHT)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa APHT tersebut telah memuat janji-janji sesuai dengan ketentuan pada Pasal 11 (2) UUHT

READ MORE - JANJI-JANJI DALAM APHT Share

Sunday, July 29, 2012

SOAL & JAWABAN UAS AKTA-AKTA PPAT KELAS A1 2012

SOAL DAN JAWABAN UAS SEMESTER GENAP (2011/2012)
MATAKULIAH AKTA-AKTA PPAT
KELAS A 1
Dosen Penguji : Notaris Hari Bagyo, SH, Mhum
CLOSE BOOK

1.      Tugas pokok PPAT (pasal 2 PP no.37/1998)
Melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hk atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Perbuatan hukum tersebut :
a.       Jual-beli
b.      Tukar menukar
c.       Hibah
d.      Pemasukan kedalam perusahaan (inbreng)
e.       Pembagian hak bersama
f.        Pemberian hak guna bangunan / hak pakai atas tanah hak milik.
g.       Pemberian hak tanggungan
h.       Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

3. janji – janji yang diatur dalam APHT Pasal 11 ayat [2] UUHT  :
a.       Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan obyek hak tangungan, misalnya harus dengan persetujuan lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
b.      Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk obyek hak tanggungan.
c.       Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk mengelola obyek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri.
d.      Janji bahwa pemegang HT pertama (peringkat pertama) mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek HT apabila debitur cidera janji.
e.       Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HT untuk menyelamatkan obyek HT jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan.
f.        Janji bahwa pemberi HT akan mengosongkan obyek HT pada waktu eksekusi HT.
g.       Janji bahwa pemberi HT tidak akan melepaskan haknya atas obyek HT tanpa persetujuan dari pemegang HT.
h.       Janji bahwa pemegang HT akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi apabila obyek HT dilepaskan haknya oleh pemberi HT atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
i.         Janji bahwa pemberi HT akan mengosongkan obyek HT pada waktu eksekusi HT
j.        Janji bahwa sertifikat hak atas tanah obyek HT disimpan oleh penerima HT.

3.      Apa yang menjadi Hak dan Kewajiban PPAT ?

HAK PPAT adalah :
a.   cuti;
b.   memperoleh uang jasa (honorarium) dari pembuatan akta sesuai Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998;
c.   memperoleh informasi serta perkembangan peraturan perundangundangan pertanahan;
d.   memperoleh kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai PPAT.

PPAT mempunyai kewajiban :
a.   menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.   mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT;
c.   menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
d.   menyerahkan protokol PPAT dalam hal :
1. PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
2. PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara kepada PPAT Sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
3. PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus kepada PPAT Khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan.
e.   membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang dibuktikan secara sah;
f.    membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat;
g.   berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT;
h.   menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan;
i.    melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan;
j.    memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
k.   lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.

4.      SKMHT dibuat dalam hal :
1.      Terhadap sertifikat tanah itu masih dalam proses pendaftaran Hak
2.      Masih dalam proses peralihan Hak
3.      Masih dalam proses penghapusan Hak Tanggungan
4.      pemberi hak tanggungan, karena sesuatu sebab yang menyebabkan ia tidak bisa hadir untuk menandatangani APHT (penjelasan umum angka 7 UUHT).

Jangka waktu berlakunya SKMHT :
a.       Pada tanah dalam proses peralihan hak dan masih dalam proses pendaftaran tanah, jangka waktunya 3 bulan
b.      Hak atas tanah ang dalam proses penghapusan Hak Tanggungan, jangka waktunya 1 tahun
c.       Terhadap hutang-piutang, yang nilainya dibawah Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah), berlaku nya selama masa kreditnya belum selesai.
d.      Jika hak atas tanahnya sudah terdaftar, maka jangka waktunya adalah 1 bulan sesudah diberikan. (pasal 15 ayat 3 UUHT)
e.       Jika hak atas tanahnya belum terdaftar (belum bersertifikat), maka jangka waktunya adalah 3 bulan (pasal 15 ayat 4 UUHT)
f.        Tanah-tanah yang sudah bersertifikat tetapi belum didaftar atas nama pemberi HT sebagai pemegang hak yang baru (tanah yang belum didaftar peralihan haknya, pemecahannya atau penggabungan nya) maka masa berlakunya : 3 bulan (pasal 15 ayat 4 alinea terakhir UUHT).

READ MORE - SOAL & JAWABAN UAS AKTA-AKTA PPAT KELAS A1 2012 Share

SOAL & JAWABAN PJN LANJUT KELAS A1 2012

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2011 – 2012
 Mata Kuliah                   : Peraturan Jabatan Notaris Lanjut
Hari/Tgl.                        : Senin/9 Juli 2012
Waktu                           : 120 menit
Kelas                             : A1 dan A2
Sifat ujian                       : (CLOSE BOOK)
Dosen penguji                : Notaris Dr. Edhit Ratna M.S., SH
                                        Notaris Suyanto, SH
1.      Bagaimanakah prosedur yang harus dilakukan oleh seseorang yang dirugikan oleh Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, dari pengajuan laporan sampai dengan dikeluarkannya putusan atas masalah dimaksud. Jelaskan !

JAWAB :

A.     Tahap Pengajuan Laporan
Menurut Pasal 21 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004

1.      Pihak yang merasa dirugikan mengajukan laporan pelanggaran Kode Etik dapat ditujukan kepada MPD,MPW dan MPP.
2.      Jika laporan atas pelanggaran Kode Etik dilaporkan ke MPW atau MPP, maka MPW atau MPP meneruskan laporan tersebut kepada MPD
3.      Laporan harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai bukti-bukti yang dapat dipertanggung-jawabkan.

B.     Tahap Pemanggilan
1.      Menurut Pasal 22 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004, Prosedur Pemanggilan Notaris adalah :
2.      Ketua Majelis Pemeriksa melakukan pemanggilan terhadap pelapor dan terlapor.
3.      Pemanggilan dilakukan dengan surat oleh sekretaris dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum sidang.
4.      Dalam keadaan mendesak pemanggilan dapat dilakukan melalui faksimili yang segera disusul dengan surat pemanggilan.
5.      Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan patut, tetapi tidak hadir maka dilakukan pemanggilan kedua.
6.      Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan patut yang kedua kali namun tetap tidak hadir maka pemeriksaan dilakukan dan putusan diucapkan tanpa kehadiran terlapor.
7.      Dalam hal pelapor setelah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir, maka dilakukan pemanggilan yang kedua, dan apabila pelapor tetap tidak hadir maka Majelis Pemeriksa menyatakan laporan gugur dan tidak dapat diajukan lagi.

C.     Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Daerah
Menurut Pasal 23 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004, Prosedur Pemeriksaan Notaris adalah :

1.      Pemeriksaan dilakukan oleh MPD, dan  tertutup untuk umum.
2.      Pemeriksaan dimulai dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah laporan diterima.
3.      MPD harus sudah menyelesaikan pemeriksaan dan menyampaikan hasil pemeriksaan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak laporan diterima.
4.      Hasil pemeriksaan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris.
5.      Surat pengantar pengiriman berita acara pemeriksaan yang dikirimkan kepada MPW ditembuskan kepada pelapor, terlapor, MPP, dan Pengurus Daerah INI.
6.      Pada sidang pertama yang ditentukan, pelapor dan terlapor hadir, lalu MPD melakukan pemeriksaan dengan membacakan laporan dan mendengar keterangan pelapor.
7.      Dalam pemeriksaan, terlapor diberi kesempatan yang cukup untuk menyampaikan tanggapan.
8.      Pelapor dan terlapor dapat mengajukan bukti-bukti untuk mendukung dalil yang diajukan.

D.    Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah
Menurut Pasal 26 dan 27 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004, Prosedur Pemeriksaan Notaris adalah :
1.      MPW memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah.
2.      MPW mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan MPD dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.
3.      MPW berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk didengar keterangannya.
4.      Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima.
5.      Putusan harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan dan ditandatangani oleh Ketua, Anggota, dan Sekretaris MPW.
6.      Dalam hal laporan tidak dapat dibuktikan, maka MPW mengucapkan putusan yang menyatakan laporan ditolak dan terlapor direhabilitasi nama baiknya.
7.      Dalam hal laporan dapat dibuktikan, maka terlapor dijatuhi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
8.      Salinan putusan MPW disampaikan kepada Menteri, pelapor, terlapor, Majelis Pengawas Daerah, dan Pengurus Pusat INI, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.

E.     Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Pusat
Menurut Pasal 29 dan 30 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004, Prosedur Pemeriksaan Notaris adalah :
1.      MPP memeriksa permohonan banding atas putusan MPW
2.      Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding dianggap cukup beralasan oleh MPP, maka putusan MPW dibatalkan.
3.      Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding dianggap tidak beralasan oleh MPP, maka putusan MPW dikuatkan.
4.      MPP dapat mengambil putusan sendiri berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan.
5.      MPP mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.
6.      MPP berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya.
7.      Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima dan  ditandatangani oleh Ketua, Anggota, dan Sekretaris MPP
8.      Putusan MPP disampaikan kepada Menteri, dan salinannya disampaikan kepada pelapor, terlapor, MPD,MPW , PengurusPusat INI, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan

2.      a.   Jelaskan bagaimanakah prosedur yang harus dilakukan oleh seorang Notaris dalam membetulkan kesalahan tulis/kesalahan ketik pada minuta akta yang telah ditandatangani para pihak ?

JAWAB :
Menurut Pasal 51 ayat [2] UUJN , prosedurnya adalah dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akt asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan serta wajib disampaikan kepada para pihak.

      b.   Apa yang dimaksud minuta akta . Jelaskan !

JAWAB :
Asli Akta yaitu suatu akta yang diperuntukan untuk berada dalam protokol Notaris.Berdasarkan ketentuan umum Notaris berkewajiban untuk membuat minuta akta, pada hal-hal tertentu dengan pengecualian Notaris dapat membuat akta originali.

READ MORE - SOAL & JAWABAN PJN LANJUT KELAS A1 2012 Share

CARA PENGAMBILAN FOTOCOPY MINUTA AKTA NOTARIS PADA PERKARA PIDANA DAN PERDATA

Cara pengambilan fotocopy minuta akta Notaris pada perkara pidana:
Menurut PERMEN KUMHAM NOMOR: M.03.HT.03.10 TAHUN 2007 :
1.      Penyidik harus mengajukan persetujuan kepada Majelis Pengawas Daerah yang tembusannya disampaikan kepada Notaris yang bersangkutan, dengan mencantumkan alasan-alasan pengambilan fotocopy menuta akta Notaris (Pasal 2 ayat [1], [2] dan [3]
2.      Pasal 9 Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan, apabila:
a. ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/ atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; atau
b belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundangundangan di bidang pidana.
c. ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;
d.           ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta; atau
e. ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).

3.      Sebelum Menyerahkan terlebih dahulu MPD mendengarkan keterangan Notaris yang bersangkutan (Pasal 10)
4.      Jika MPD Menyetujui, maka penyidik, penuntut Umum atau Hakim miminta kepada Notaris untuk menyerahkan fotocopy minuta akta untuk dilakukan pemeriksaan forensik. (Pasal 13)
5.      Penyerahan foto copi minuta akta Notaris dilaksanakan dengan berita acara penyerahan yang dibuat MPD dan ditanda tangani oleh MPD, Penerima dan Notaris yang bersangkutan.
6.      Setelah pemeriksaan terhadap fotocopy minuta akta notaris selesai, maka penyidik, Penuntut umum atau Hakim mengembalikan kepada Notaris.

Cara pemanggilan Notaris dalam perkara pidana :

1.      Sesuai pasal 66 UUJN jo PERMEN KUMHAM NOMOR: M.03.HT.03.10 TAHUN 2007, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim terlebih dahulu mengajukan ijin pemanggilan Notaris kepada MPD, disertai dengan alasan-alasan pemanggilan
2.       MPD akan mempelajari alasan-alasan pemanggilan yang diajukan penyidik, penuntut umum atau Hakim. Apabila :
a. ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Akta dan/ atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, atau;
b. belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
3.      Jika alasan yang diajukan terbukti masuk dalam ranah Hukum Pidana, maka MPD akan mendengar keterangan Notaris yang bersangkutan.
4.      Kemudian dilanjutkan dengan pemanggilan Notaris yang bersangkutan untuk diadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap perkara yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum atau Hakim
5.      Apabila menurut pendapat MPD terdapat unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris maka MPD akan memberikan persetujuan pemaggilan yang diajukan penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim.
6.      MPD membuat berita acara pemanggilan dan membuat laporan pemanggilan kepada MPW dan MPP.

Cara pengambilan fotocopy minuta akta Notaris pada perkara perdata :
1.      Apabila Pelapor langsung melaporkan kepada MPD maka MPD dapat secara langsung untuk meminta fotocopy minuta akta Notaris yang bersangkutan
2.      Apabila pelapor mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri, maka Hakim dapat meminta kepada tergugat Notaris untuk menyerahkan fotocopy minuta akta tanapa harus melalui persetujuan MPD

Cara pemanggilan Notaris dalam perkara perdata :
Hakim dapat secara langsung tanpa persetujuan MPD meminta kepada Notaris yang bersangkutan untuk datang dalam persidangan.

READ MORE - CARA PENGAMBILAN FOTOCOPY MINUTA AKTA NOTARIS PADA PERKARA PIDANA DAN PERDATA Share

PROSEDUR PEMANGGILAN NOTARIS ATAS PELANGGARAN KODE ETIK JABATAN

PROSEDUR PEMANGGILAN NOTARIS ATAS PELANGGARAN KODE ETIK JABATAN
Oleh : Arif Indra Mkn
Mahasiswa Kenotariatan UNDIP 2011

A.     Tahap Pengajuan Laporan
Menurut Pasal 21 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004

1.      Pihak yang merasa dirugikan mengajukan laporan pelanggaran Kode Etik dapat ditujukan kepada MPD,MPW dan MPP.
2.      Jika laporan atas pelanggaran Kode Etik dilaporkan ke MPW atau MPP, maka MPW atau MPP meneruskan laporan tersebut kepada MPD
3.      Laporan harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai bukti-bukti yang dapat dipertanggung-jawabkan.

B.     Tahap Pemanggilan
1.      Menurut Pasal 22 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004, Prosedur Pemanggilan Notaris adalah :
2.      Ketua Majelis Pemeriksa melakukan pemanggilan terhadap pelapor dan terlapor.
3.      Pemanggilan dilakukan dengan surat oleh sekretaris dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum sidang.
4.      Dalam keadaan mendesak pemanggilan dapat dilakukan melalui faksimili yang segera disusul dengan surat pemanggilan.
5.      Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan patut, tetapi tidak hadir maka dilakukan pemanggilan kedua.
6.      Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan patut yang kedua kali namun tetap tidak hadir maka pemeriksaan dilakukan dan putusan diucapkan tanpa kehadiran terlapor.
7.      Dalam hal pelapor setelah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir, maka dilakukan pemanggilan yang kedua, dan apabila pelapor tetap tidak hadir maka Majelis Pemeriksa menyatakan laporan gugur dan tidak dapat diajukan lagi.

C.     Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Daerah
Menurut Pasal 23 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004, Prosedur Pemeriksaan Notaris adalah :

1.      Pemeriksaan dilakukan oleh MPD, dan  tertutup untuk umum.
2.      Pemeriksaan dimulai dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah laporan diterima.
3.      MPD harus sudah menyelesaikan pemeriksaan dan menyampaikan hasil pemeriksaan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak laporan diterima.
4.      Hasil pemeriksaan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris.
5.      Surat pengantar pengiriman berita acara pemeriksaan yang dikirimkan kepada MPW ditembuskan kepada pelapor, terlapor, MPP, dan Pengurus Daerah INI.
6.      Pada sidang pertama yang ditentukan, pelapor dan terlapor hadir, lalu MPD melakukan pemeriksaan dengan membacakan laporan dan mendengar keterangan pelapor.
7.      Dalam pemeriksaan, terlapor diberi kesempatan yang cukup untuk menyampaikan tanggapan.
8.      Pelapor dan terlapor dapat mengajukan bukti-bukti untuk mendukung dalil yang diajukan.

D.    Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah
Menurut Pasal 26 dan 27 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004, Prosedur Pemeriksaan Notaris adalah :
1.      MPW memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah.
2.      MPW mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan MPD dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.
3.      MPW berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk didengar keterangannya.
4.      Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima.
5.      Putusan harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan dan ditandatangani oleh Ketua, Anggota, dan Sekretaris MPW.
6.      Dalam hal laporan tidak dapat dibuktikan, maka MPW mengucapkan putusan yang menyatakan laporan ditolak dan terlapor direhabilitasi nama baiknya.
7.      Dalam hal laporan dapat dibuktikan, maka terlapor dijatuhi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
8.      Salinan putusan MPW disampaikan kepada Menteri, pelapor, terlapor, Majelis Pengawas Daerah, dan Pengurus Pusat INI, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.

E.     Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Pusat
Menurut Pasal 29 dan 30 PERMENKUMHAM NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004, Prosedur Pemeriksaan Notaris adalah :
1.      MPP memeriksa permohonan banding atas putusan MPW
2.      Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding dianggap cukup beralasan oleh MPP, maka putusan MPW dibatalkan.
3.      Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding dianggap tidak beralasan oleh MPP, maka putusan MPW dikuatkan.
4.      MPP dapat mengambil putusan sendiri berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan.
5.      MPP mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.
6.      MPP berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya.
7.      Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima dan  ditandatangani oleh Ketua, Anggota, dan Sekretaris MPP
8.      Putusan MPP disampaikan kepada Menteri, dan salinannya disampaikan kepada pelapor, terlapor, MPD,MPW , PengurusPusat INI, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan

READ MORE - PROSEDUR PEMANGGILAN NOTARIS ATAS PELANGGARAN KODE ETIK JABATAN Share

KAJIAN ATAS HAK JAMINAN RESI GUDANG BERDASARKAN UU NO. 9 TH. 2006


I. Pendahuluan

Hak jaminan Resi Gudang merupakan bentuk lembaga pengikatan jaminan baru yang pengaturannya terdapat di dalam UU No. 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang (UU SRG). Salah satu tujuan diciptakannya lembaga pengikatan jaminan tsb adalah untuk menampung kebutuhan Pemegang Resi Gudang, yaitu pemilik barang yang menyimpan barangnya pada Pengelola Gudang, dalam rangka memperoleh pembiayaan dengan jaminan berupa Resi Gudang, mengingat karena sifatnya Resi Gudang tsb. tidak dapat dibebani dengan salah satu lembaga jaminan yang sudah ada seperti Hak Tanggungan, Gadai atau Fidusia.
Pengertian Hak jaminan atas Resi Gudang yang selanjutnya disebut Hak Jaminan menurut Pasal 1 UU SRG adalah hak jaminan yang dibebankan pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima Hak Jaminan terhadap kreditor yang lain”.
Resi Gudang yang dapat dibebani dengan Hak jaminan tsb merupakan dokumen bukti kepemilikan atas suatu barang yang disimpan di dalam gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang. Untuk dapat menerbitkan Resi Gudang, sebuah Pengelola Gudang harus memenuhi persyaratan yaitu disamping harus mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Resi Gudang (Pasal 2 UU SRG) juga harus merupakan suatu badan usaha yang berbadan hukum. (Pasal 23 ayat (1)).
II. Pembebanan Hak jaminan
Menurut Pasal 4 UU SRG, selain dapat dialihkan dan dijadikan dokumen penyerahan barang, Resi Gudang juga dapat dijadikan jaminan utang sepenuhnya dengan dibebani Hak Jaminan tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya, hal ini mengingat sebagai alas hak (document of title) atas barang, Resi Gudang tsb dijamin dengan komoditas tertentu (misalnya : kopi, coklat, lada, dll) yang berada dalam pengawasan Pengelola Gudang yang terakreditasi dan Hak Jaminan atas Resi Gudang tsb meliputi juga klaim asuransi sepanjang barang tsb diasuransikan.
a. Hak Jaminan sebagai perjanjian assesoir.
Sesuai dengan sifat lembaga pengikatan jaminan, perjanjian pembebanan Hak Jaminan juga merupakan perjanjian assesoir (ikutan) dari suatu perjanjian utang piutang (pasal 12 ayat (1)). Artinya keberadaan atau lahirnya perjanjian Hak Jaminan tersebut didahului adanya suatu perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang. Namun demikian di dalam pasal tsb maupun di dalam penjelasannya tidak diuraikan lebih lanjut mengenai hutang piutang yang dapat dijamin dengan hak jaminan tsb, sehingga kurang begitu jelas apakah hanya untuk hutang yang telah ada saja atau termasuk juga hutang yang akan timbul dikemudian hari sebagaimana hutang yang dapat dijamin dengan Hak Tanggungan atau Jaminan Fidusia.
b. Hak jaminan hanya untuk menjamin satu hutang
Sama halnya dengan UU Jaminan Fidusia yang tidak memungkinkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar untuk dilakukan fidusia ulang, setiap Resi Gudang yang diterbitkanpun menurut ketentuan Pasal 12 ayat (2) UU SRG hanya dapat dibebani satu jaminan utang dan untuk melindungi kepentingan penerima Hak jaminan serta memudahkan eksekusi apabila debitor cidera janji maka setiap Resi Gudang yang telah dijadikan jaminan utang tsb di atas wajib diserahkan kepada kreditor.
c. Pembuatan akta pengikatan jaminan Hak Jaminan
Pembebanan Hak jaminan Resi Gudang menurut Pasal 14 ayat (1) dilakukan dengan pembuatan Akta Perjanjian Hak Jaminan antara Pemegang Resi Gudang/Pemilik barang dengan kreditor. Namun demikian di dalam pasal tsb tidak dinyatakan secara tegas apakah akta perjanjian pembebanan tsb harus berbentuk akta otentik atau bisa juga dibuat dibawah tangan saja antara para pihak. Namun demikian apabila dilihat dari bunyi penjelasan pasal tsb yang menyatakan bahwa pembuatan akta tsb dimaksudkan untuk melindungi dan memberikan kekuatan hukum bagi para pihak dan dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti yang sempurna dalam penyelesaian setiap perselisihan yang muncul dikemudian hari, dapat disimpulkan bahwa pembuatan Akta Perjanjian Hak jaminan tsb harus dibuat dalam bentuk akta otentik, mengingat baik dari segi formal, material maupun isinya akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna adalah akta yang otentik.
d. Pemberitahuan Hak Jaminan
Berbeda dengan UU Hak Tanggungan maupun UU Jaminan Fidusia yang mewajiban untuk melakukan pendaftarkan atas pemberian jaminan, di dalam UU SRG tidak diatur mengenai kewajiban pendaftaran Hak jaminan melainkan hanya diatur mengenai kewajiban bagi penerima hak jaminan untuk memberitahukan perjanjian pengikatan resi gudang sebagai hak jaminan tsb kepada Pengelola Gudang dan Pusat Regristrasi (Pasal 13). Tujuan pemberitahuan pembebanan jaminan tsb adalah untuk mempermudah Pusat Registrasi dan Pengelola Gudang dalam rangka mencegah adanya penjaminan ganda serta memantau peredaran Resi Gudang dan memberikan kepastian hukum tentang pihak yang berhak atas barang dalam hal terjadi cidera janji.
Apabila dilihat dari tujuannya, kewajiban pendaftaran dalam UU HT maupun UU Jaminan Fidusia dengan kewajiban pemberitahuan dalam UU SRG mempunyai kesamaan, yaitu disamping untuk memenuhi asas publisitas juga untuk memberikan kepastian hukum kepada kreditor. Perbedaanya apabila terhadap APHT maupun Akta Jaminan Fidusia tidak dilakukan pendaftaran maka belum terjadi pengikatan HT atau Jaminan Fidusia, hal tsb mengingat menurut Pasal 13 ayat (5) UU HT atau Pasal 14 ayat (3) UU Jaminan Fidusia lahirnya masing2 hak jaminan tsb. adalah setelah dilakukan proses pendaftaran sampai dengan diterbitkannya Sertifikat HT atau Sertifikat Jaminan Fidusia. Sedangkan di dalam UU SRG tidak diatur lebih lanjut akibat hukumnya terhadap Penerima Jaminan maupun terhadap pengikatan jaminan itu sendiri apabila kewajiban pemberitahuan Hak Jaminan atas Resi Gudang tsb tidak diberitahukan oleh Penerima Jaminan kepada Pengelola Gudang dan Pusat Registrasi.
III. Hapusnya hak Jaminan
Berdasarkan Pasal 15 UU SRG ada dua hal yang dapat menyebabkan hak jaminan hapus yaitu :
a. Hapusnya utang pokok yang dijamin dengan Hak jaminan
Sesuai dengan sifatnya, sebagai perjanjian ikutan keberadaan atau lahirnya Hak Jaminan didahului adanya suatu perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang, demikian pula apabila perjanjian utang-piutang yang merupakan perjanjian pokok hapus maka hak jaminan sebagai perjanjian ikutan hapus pula. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak jaminan menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) antara lain karena adanya pelunasan oleh pemegang Resi Gudang atau karena adanya perpindahan kreditor.
Apabila ditinjau dari bunyi penjelasan tsb, maka dalam hal terjadi perpindahan/perubahan kreditor akan berakibat hutang menjadi hapus, dengan demikian Hak Jaminan sebagai perjanjian ikutannya menjadi hapus juga, walaupun seperti diketahui di dalam perjanjian utang piutang apabila terjadi perubahan kreditor tidak selalu membawa akibat hapusnya pengikatan jaminan.
Dalam perjanjian utang piutang perubahan Kreditor bisa terjadi karena adanya pembaharuan utang (novasi) atau sebagai akibat peralihan piutang yang terjadi karena Cessie, Subrogasi, pewarisan atau sebab-sebab lainnya. Berdasarkan Pasal 1421 KUH Perdata dalam hal terjadi pembaharuan hutang karena ada perubahan kreditor (novasi subyektif pasip), hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik yang melekat pada piutang lama, tidak berpindah pada piutang baru yang menggantikannya, kecuali kalau hal itu secara tegas dipertahankan oleh si berpiutang. Demikian pula apabila terjadi perubahan kreditor karena cessie atau subrogasi, tidak mengakibatkan semua perjanjian ikutannya berakhir karena dalam cessie maupun subrogasi yang berubah adalah subyek kreditornya saja, sedangkan perjanjian utang piutangnya tetap. Dengan demikian apabila terjadi perubahan kreditor karena novasi subyektif pasif maupun karena cessie atau subrogasi tidak serta merta perjanjian ikutannya menjadi hapus.
b. Pelepasan hak jaminan oleh penerima hak jaminan
Perjanjian utang piutang antara kreditor dengan debitor merupakan suatu hubungan hukum yang didasari unsur kepercayaan, dengan demikian apabila kreditor merasa tidak memerlukan lagi memegang hak jaminan, maka kreditor dapat melepaskan hak jaminan tsb dan Resi Gudang yang dijadikan jaminan dikembalikan kepada pemegang resi gudang sebagai pemilik barang. Dalam hal terjadi pelepasan jaminan dan pengembalian Resi Gudang kepada pemiliknya, mestinya di dalam Pasal 15 diatur pula kewajiban Penerima Jaminan untuk menyampaikan pemberitahuan ke Pengelola Gudang dan Pusat Registrasi mengingat dalam pengikatannya ada kewajiban bagi Penerima Jaminan untuk menyampaikan pemberitahuan kepada kedua pihak tsb.
Sebagai bukti kepemilikan atas barang (inventory) yang disimpan di dalam gudang, Resi gudang masih memiliki nilai apabila barang (inventory) yang disimpan di dalam gudang tsb masih ada, sebaliknya apabila barang yang disimpan di dalam gudang musnah maka resi Gudang tsb tidak berharga lagi. Tetapi di dalam Pasal 15 tidak diatur mengenai hapusnya Hak Jaminan yang disebabkan oleh musnahnya barang yang menjadi obyek Hak Jaminan, sehingga pasal tsb kurang memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditor apabila debitor cidera janji dan eksekusi Hak Jaminan tidak dapat dilakukan karena obyek yang akan dieksekusi sudah tidak ada lagi meskipun nantinya musnahnya barang tsb tidak menghapuskan hak penerima jaminan atas klaim asuransi atas barang dalam hal telah diperjanjikan sebelumnya.
IV. Eksekusi Hak Jaminan
Hak jaminan atas Resi Gudang bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan oleh penerima hak jaminan kepada debitor. Apabila debitor cidera janji berdasarkan Pasal 16 UU SRG, penerima hak jaminan berhak untuk menjual obyek jaminan atas kekuasaannya sendiri melalui dua cara , yaitu :
a. Lelang Umum atau
b. Penjualan Langsung.
Baik pelelangan umum maupun penjualan langsung tsb dapat dilaksanakan tanpa harus ada penetapan dari pengadilan terlebih dahulu, tetapi harus sepengetahuan dari pemberi hak jaminan melalui pemberitahuan secara tertulis.
Di dalam Pasal 16 tsb memang tidak diatur lebih lanjut batasan-batasan mengenai pelelangan umum maupun penjualan langsung, tetapi apabila dilihat dalam penjelasan Pasal 26 dapat diketahui bahwa lelang umum dimaksudkan untuk penjualan terhadap barang yang dinilai mempunyai jangka waktu yang masih lama, sedangkan penjualan langsung ditujukan untuk penjualan terhadap barang yang jangka waktunya telah habis atau jika tidak dilakukan penjualan, nilai komoditas akan bertambah turun. Dengan demikian berdasarkan ketentuan tsb, maka penerima jaminan dapat menentukan prosedur penjualan yang akan ditempuh dalam rangka eksekusi jaminan, sehingga terhindar dari kerugian akibat merosotnya nilai barang yang menjadi obyek jaminan. Disamping itu menurut Pasal 9 UU SRG dalam hal Resi Gudang diperdagangkan di bursa, maka mekanisme transaksinya tunduk pada ketentuan Bursa tempat Resi Gudang tsb diperdagangkan.
Berkaitan dengan pemberitahuan secara tertulis sebelum eksekusi dilakukan, karena dalam penjelasan pasal 16 tidak jelas kriterianya, hal tsb kurang memberi kepastian hukum dan dapat menimbulkan potensi permasalahan antara para pihak. Dengan dalih telah melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada pemilik barang, maka Kreditor merasa berhak untuk melakukan eksekusi Hak Jaminan, sebaliknya pemilik barang karena alasan belum menerima pemberitahuan dari kreditor maka dapat mengajukan keberatan bahkan pembatalan atas eksekusi obyek hak jaminan.
V. PENUTUP
Lahirnya lembaga pengikatan Hak jaminan dengan obyek jaminan berupa Resi Gudang yang dijamin dengan komoditas tertentu, memberikan peluang bagi lembaga perbankan untuk memberikan pembiayaan perdagangan kepada dunia usaha untuk menjamin kelancaran usaha terutama bagi usaha kecil dan menengah termasuk petani yang umumnya menghadapi masalah karena keterbatasan akses dan jaminan kredit. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut berkaitan dengan Hak Jaminan tsb. antara lain mengenai pembuatan akta pembebanan, kewajiban pemberitahuan pengikatan jaminan dan akibat hukumnya, hapusnya Hak Jaminan sebagai akibat perubahan kreditor, akibat hukum musnahnya obyek jaminan terhadap Hak Jaminan, dan tata cara eksekusi hak jaminan, mengigat beberapa hal tsb belum cukup diatur, disamping itu peraturan pelaksanaan yang diamanatkan UU SRG tsb masih belum terbit, sehingga ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU SRG tsb sepenuhnya belum dapat diimplementasikan

READ MORE - KAJIAN ATAS HAK JAMINAN RESI GUDANG BERDASARKAN UU NO. 9 TH. 2006 Share