Oleh : Arif Indra MKn UNDIP 2011
Sejak
diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagai pengganti
Undang-undang Nomor 14 tahun 1967, serta telah dirubah dengan Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Pada sistem Perbankan di Indonesia sudah
tidak mengenal Lembaga Keuangan Bukan Bank. Sistem Hukum Perbankan di Indonesia
berdasarkan Pasal 57 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 junto Peraturan
Pemerintah Nomor 70 tahun 1992, hanya mengenal satu lembaga kuangan yaitu
Lembaga Keuangan Bank, yang kemudian disebut dalam makalah ini dengan sebutan
”Bank”.
Bank
sebagai lembaga keuangan, seperti telah dibicarakan didepan memiliki salah satu
tugas pokok adalah memberikan kredit. Kredit Bank dilihat dari segi penggunaan
kredit, dapat dibedakan menjadi :
a. Kredit produktif
Kredit
produktif berupa kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan
modal tetap dan kredit yang ditujukan untuk pembiyaan kebutuhan dunia usaha
akan modal kerja berupa persediaan bahan baku dan persediaan produk akhir.
b. Kredit Konsumtif
Kredit yang
disalurkan kepada perorangan untuk membiayai konsumsinya dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat sekunder dan tersier.
Termasuk dalam kredit pembiayaan konsumen
oleh bank adalah melakukan kegiatan anjak piutang yaitu kegiatan pengurusan
piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan yang dilakukan
dengan cara pengambilalihan atau pembelian piutang, usaha kartu kredit yaitu :
usaha dalam bidang pemberian kredit atau pembiayaan untuk pembelian barang atau
jasa yang penarikannya dapat dilakukan dengan kartu, kegiatan wali amanat
adalah suatu lembaga atau pihak yang bertindak untuk mewakili kepentingan
pemegang efek yang bersifat utang dengan membuat suatu perjanjian dengan
emiten, yang dibuat sebelum penerbitan obligasi.[1]
Pada jenis
kredit konsumtif ini, salah satu produknya yang menjadi primadona bagi nasabah
debitor adalah kredit pembiayaan konsumen. Pengertian kredit pembiyaaan
konsumen adalah sama dengan yang dimaksud dengan pengertiam kredit konsumtif,
dalam mana pada pengertian kredit pembiayaan konsumen, khusus bertujuan kepada
pembiayaan nasabah debitor atas pembelian barang-barang yang bersifat
konsumtif.[2]
Dengan
semakin meningkat dan berkembangan jenis kredit pembiayaan konsumen yang
diikuti dengan tuntutan kemudahan, flesibilitas dan efisiensi dalam
penyalurannya, maka tingkat risiko dalam penyaluran kredit pembiayaan konsumen
inipun semakin besar. Lembaga keuangan bank, semakin sulit untuk mengikuti
perkembangan dan peningkatan kebutuhan akan pembiayaan konsumen masyarakat,
karena lembaga perbankan terikat dan harus tunduk untuk mengikuti segala
ketentuan dan kebijaksanaan yang dikeluarkan melalui Kementerian Keuangan
Negara atau Bank Indonesia.
Prinsip
kehatian-kehatian dalam penyaluran kredit bank, merupakan hal yang harus
dipegang teguh oleh bank, karena dalam penyaluran kredit, bank wajib
mendasarkan kepada suatu kebijaksanaan untuk selalu tetap memelihara
keseimbangan yang tepat antara keinginan untuk memperoleh keuntungan dari
tingkat bunga kredit dengan tercapainya likuiditas dan solvabilitas bank disisi
lain.
Kondisi ini
diharuskan karena dalam penyaluran kredit bank mengadung risiko. Likuiditas
merupakan hal yang penting untuk menilai tingkat risiko bank, karena likuidatas
menyangkut kemampuan bank dalam menjamin terbayarnya hutang-hutang jangka
pendek. Sedangkan solvabilitas menyangkut pada kemampuan bank dalam melunasi
semua hutang-hutangnya baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dengan kodisi demikian ini, pelaksanaan kredit
pembiayaan konsumen dilakukan tidak secara langsung kepada nasabah debitor.
Bank lebih memilih dengan cara-cara yang dianggap lebih menguntungkan dan aman,
yaitu dengan :
a.
Mendirikan Perusahaan Pembiayaan (chaneling Finance)
Perusahaan pembiayaan yang didirikan ini berfungsi sebagai kepanjangan
tangan dari bank dalam penyaluran kredit pembiayaan konsumen. Hal ini
dimungkinkan karena dalam Pasal 7 huruf b Undang-undang No. 7 tahun 1992 Bank
umum dapat melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain
dibidang keuangan.
Kemudian lebih jelas lagi diatur dalam Pasal 3 [1] KEPRES RI no. 61 tahun
1988, mengatur bahwa :
Pasal 3
(1) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1) dapat dilakukan oleh :
a. Bank;
b. Lembaga
Keuangan Bukan Bank;
c. Perusahaan
Pembiayaan.
Pada pasal 2 [1] nya mengatur bahwa :
Pasal 2
(1) Lembaga
pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi antara lain bidang usaha :
a. Sewa
Guna Usaha;
b. Modal
Ventura;
c. Perdagangan
Surat Berharga;
d. Anjak
Piutang;
e. Usaha Kartu Kredit;
f. Pembiayaan Konsumen.
Pendirian perusahaan pembiayaan ini,
berstatus sebagai affiliated company
dari Bank. Perusahaan afiliasi (affiliated company) adalah perusahaan
yang secara efektif dikendalikan oleh perusahaan lain, atau tergabung dengan
perusahaan atau beberapa perusahaan lain karena kepentingan atau pemilikan atau
pengurus yang sama.
Pada perusahaan afiliasi ini, kedudukan
bank sebagai pemilik modal 100%, sedangkan pengelolaan dan menajemen perusahaan
pembiayaan. Pengelola mendapatkan fee
atau imbalan dari pengelolaan dana bank. Risiko yang ditimbulkan atas pendirian
perusahaan pembiayaan ini seluruhnya menjadi tanggung jawab Bank. Inilah yang
disebut dengan sistem Channeling.
Sistem ini diatur dalam Pasal 27 [2] dan [3] Peraturan Menteri Keuangan RI
Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
b.
Bekerjasama dengan Lembaga Pembiayaan (Joint Financing)
Cara kedua
yang dapat dignakan oleh Bank dalam rangka penyaluran kredit pembiayaan
konsumen dengan mengadakan kerjasama keuangan dengan Perusahaan Pembiayaan.
Cara ini dikenal dengan istilah Joint Financing
atau Pembiayaan Bersama, yaitu operasional penyaluran kredit pembiayaan
konsumen dengan bekerjasama dalam permodalan dengan lembaga pembiayaan yang
sudah ada. Terhadap risiko yang akan terjadi menjadi tanggung jawab bersama
sebesar modal yang disetor.
Pengaturan
mengenai hal ini ada pada Pasal 27 ayat [3] dan [4] Peraturan Menteri Keuangan
RI Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Dalam hal
Pembiayaan Bersama (Joint Financing) sumber dana bisa berasal dari Perusahaan
Pembiayaan dan Bank Umum. Bentuk kerjasama ini lebeh dipilih oleh masing-mmasing
pihak karena faktor risiko, lebih rendah dibandingkan bentuk channeling, disisi lain dengn membaiknya
tingkat perokonomian Indonesia dan menurunnya suku bunga Bank Indonesia
dikisaran 5,7 % mendorong Bank untuk lebih ekspansif dalam penyaluran dana kepada
masyarakat.
0 comments:
Post a Comment