ASPEK HUKUM KREDIT PEMBIAYAAN KONSUMEN
Arif Indra MKn
UNDIP 2011
Kredit Bank
secara umum adalah penyediaan uang dan tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga.[1]
Pada
pengertian kredit diatas terdapat sedikitnya 2 (dua) pihak dalam perjanjian
Kredit Bank yaitu pihak Debitor dan Pihak Kreditor. Masing-masing pihak dalam
perjanjian kredit bank memilik prestasi dan kontra prestasi (hak dan
kewajiban). Pihak Debitor memiliki Prestasi (kewajiban) melunasi
hutang-hutangnya termasuk didalamnya adalah bunga dan provisi serta denda yang
ditimbulkan dari keterlambatan pembayaran hutangnya. Sedangkan kontra prestasi
(hak) yang melekat pada debitor adalah hak untuk memperoleh pembiayaan atau
modal berupa dana pinjaman yang diberikan oleh pihak Bank.
Prestasi
yang yang dimiliki pihak Bank adalah kewajiban untuk menyerahkan sejumlah dana
atau modal sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian kredit. Kontra prestasi
atau hak yang dimiliki oleh pihak bank adalah menerima pelunasan secara
angsuran atas sejumlah modal atau dana yang telah diberikan kepada pihak
debitor berikut perhitungan bunga, provisi dan denda atas keterlambatan
pembayaran hutang oleh debitor.
Prestasi
dan Kontra Prestasi yang dimiliki oleh masing-masing pihak dalam perjanjian
kredit bank, dipisahkan oleh tenggang waktu. Pemisahan tenggang waktu pemenuhan
kedua hal itulah yang sebenarnya menimbulkan risiko bagi kedua belah pihak.
Bagi pihak Bank pemenuhan kewajiban oleh debitor terhadap dana yang telah
dipinjamkannya dipisahkan oleh term waktu atau tenggang waktu tertentu sehingga
hal ini menimbulkan risiko terhadap kemampuan pemenuhan kewajiban oleh debitor.
Disisi lain dengan tidak adanya hal yang pasti terhadap prospek dan
kelangsungan usaha debitor, dalam tenggang waktu pelaksanaan perjanjian
kreditnya, menimbulkan risiko terhadap kemampuan debitor dalam pemenuhan
kewajiban untuk melunasi hutang-hutangnya.[2]
Risiko yang
terbesar pada sektor keuangan terdapat pada pihak Kreditor atau Bank sebagai
pihak yang meminjamkan dana. Oleh karena itu didalam perjanjian kredit bank
disyaratkan adanya agunan atau jaminan berupa benda tetap atau benda bergerak
yang bertujuan untuk meminimalkan kerugian apabila risiko dalam perjanjian
kredit bak itu benar-benar terjadi.
Pada
asasnya, perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan
dengan kententuan perundang-undangan diatasnya. Dalam bentuk apapun perjanjian
kredit bank pada hakikatnya merupakan salah suatu bentuk perjanjian
pinjam-meminjam yang diatur dalam KUH Perdata. KUH Perdata telah mengatur
mengenai perjanjian pinjam-meminjam yaitu di pasal 1754 sampai dengan pasal
1769.
Dalam perkembangannya, perjanjian kredit yang
mendasarkan pada perjanjian pinjam-meminjam itu, mengalami perubahan pada model
dan pengaturannya. Salah satu yang mengalami perkembangan dalam perjanjian
kredit bank adalah pada perjanjian pembiayaan konsumen. Pada perjanjian
pembiayaan konsumen kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
sistem pembayaran angsuran. Nasabah dalam perjanjian pembiayaan kosumen hanya
menerima sale Credit atau barang
konsumsi yang dibutuhkan, bukan Loan
Credit (uang tunai).
Disamping itu, pelaksanaan dalam
perjanjian kredit pembiayaan konsumen Bank tidak bertindak sendiri tetapi
dilaksanakan oleh perusahaan afiliasi (affiliated
company) dari Bank. Jadi yang bertindak sebagai kreditor dalam perjanjian
pembiayaan konsumen adalah Perusahaan Pembiayaannya. Perusahaan Pembiayaan ini
bertindak bukan didasarkan atas kuasa dari Bank, tetapi sebagai Badan Hukum
tersendiri.
Pada aspek hukum kelembagaannya, Perusahaan
Pembiayaan ini berkedudukan sebagai perusahaan afiliasi (affiliated company) dari Bank. Menurut Pasal 1 [6], Peraturan Bank
Indonesia Nomor :3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, yang
dimaksud dengan Perusahaan Afiliasi adalah Perusahaan Anak dari Perusahaan
Induk Bank atau Perusahaan Induk dibidang Keuangan.
Kemudian yang dimaksud dengan Perusahaan Induk
Bank (parent company/holding company), berdasarkan Pasal 1 [3] adalah
badan hukum yang dibentuk untuk mengkonsolidasikan suatu kelompok usaha dan
memiliki saham Bank baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
kepemilikan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) atau melakukan Pengendalian
terhadap Bank. Sedangkan yang dimaksud dengan Perusahaan Induk di Bidang
Keuangan (financial holding company) adalah badan hukum yang dibentuk
oleh Perusahaan Induk untuk mengkonsolidasikan seluruh aktivitas perusahaan
induk atau kelompok usaha yang bergerak di bidang keuangan atau yang melakukan
Pengendalian terhadap seluruh aktivitas perusahaan induk atau kelompok usaha yang
bergerak di bidang keuangan.[3]
Meskipun Perusahaan Pembiayaan merupakan Badan
Hukum terpisah dengan Bank sebagai Perusahaan Induknya, tetapi tetap
dikendalikan oleh Bank. Pengendalian terhadap Perusahaan afiliasi Pembiayaan
ini, terjadi menurut Pasal 1 [2] PBI Nomor :3/22/PBI/2001, karena :
a. Bank
mempunyai hak suara yang lebih dari 50% (limapuluh perseratus) berdasarkan
suatu perjanjian dengan investor lainnya;
b. Bank
mempunyai hak untuk mengatur dan menentukan kebijakan finansial dan operasional
perusahaan berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian;
c. Bank
memiliki kewenangan untuk menunjuk atau memberhentikan mayoritas pengurus
perusahaan;
d. Bank
mampu menguasai suara mayoritas dalam rapat pengurus;
e. Bank
memiliki atau mengendalikan sekurang-kurangnya 10% (sepuluh perseratus) saham
dan merupakan pemegang saham terbesar dibandingkan dengan kepemilikan pihak
lain dalam perusahaan;
f. Bank
dan pihak terkait dengan Bank memiliki jumlah saham lebih dari 50% (lima puluh
seratus) dari modal perusahaan;
g. Aktivitas
utama perusahaan tempat Penyertaan adalah untuk memberikan manfaat bagi Bank;
dan atau
h. Bank
memiliki saham dan merupakan kreditur terbesar dari perusahaan tempat
penyertaan;
Segala bentuk perjanjian kredit apapun, pada
hakikatnya adalah perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam KUH Perdata.
Sehingga segala bentuk perjanjian kredit apapun juga harus tidak boleh
bertentangan dengan asas-asas umum dalam perjanjian. Salah satu asas yang utama
dalam perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Asas ini memberikan ruang
yang luas bagi pelaku-pelaku ekonomi untuk mengembangkan bentuk-bentuk dan
model perjanjian yang sesuai dengan kebutuhan kegiatan pelaku ekonomi tersebut.
Pada pasal 1338 dan pasal 1339 KUH Perdata diatur
bahwa asas kebebasan berkontrak yang dimaksud pada pasal ini, bahwa setiap
orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian dengan syarat
tidak bertentangan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal
dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional
law) yang berarti bahwa pasal-pasal tersebut dapat dikesampingkan apabila
para pihak menghendaki ketentuan sendiri mengenai kepentingannya, selama
kepentingan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
tidak mengganggu ketertiban umum, maka perbuatan para pihak itu sah menurut
hukum.[4]
Secara umum asas dalam perjanjian, menurut
pendapat Prof. Rutten seperti dalam bukunya Dr. Ahmad Busro, yang berjudul
”Hukum Perikatan Berdasarkan Buku III KUH Perdata”, berpendapat, didalam hukum
perjanjian terdapat 3 asas pokok yang merupakan inti sari dari 10 (sepuluh)
asas yang ada. Ketiga asas tersebut adalah :
1.
Asas
Konsensualitas (asas Konsensus)
Perjanjian telah dapat dikatakan selesai dengan adanya kata sepakat atau
persesuaian kehendak dari para pihak yangmengadakan perjanjian
2.
Asas
Kekuatan Mengikat
Asas yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak
berlaku mengikat dan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Artinya
perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. (puncta sun servada)
3.
Asas
Kebebasan Berkontrak
Menurut asas ini para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian yang
dikehendakinya, tidak terikat pada bentuk tertentu, hanya dibatasi oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Sehubungan dengan akibat dari perjanjian, pasal
1338 dan 1339 KUH Perdata memiliki fungsi mengontrol dan penilaian pada
pelaksanaan perjanjian. Fungsi pengontrol dan penilai dari pasal tersebut,
terjadi pada perjanjian yang mengandung, beberapa klausula sebagai berikut :[5]
1.
Terdapat
kalusula putusan pihak
Perjanjian yang memuat suatu janji , apabila terjadi persengketaan maka
akan diputus oleh salah satu pihak.
2.
Terdapat
klausula nasihat yang mengikat
Apabila dalam pelaksanaan perjanjian terjadi perbedaan pendapat maka akan
diselesaikan atau diserahkan oleh pihak ketiga baik perorangan atau badan
hukum.
3.
Terdapat
kalusula perubahan anggaran dasar suatu badan hukum
Apabila terjadi perubahan anggaran dasar pada badan hukum yang berakibat terhadap
pelaksanaan perjanjian yang dibuat terhadap pihak ketiga.
4.
Terdapat
klausula perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian
Terjadi perubahan keadaan pada saat pelaksanaan perjanjian yang berpengaruh
pada pemenuhan prestasi para pihak yang membuat perjanjian.
Apabila
hal-hal tersebut terjadi maka untuk menguji atau mengontrol terhadap perjanjian
yang dibuat para pihak dilaksanakan dengan itikad baik dan kepatutan, yang
diatur dalam pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata.
[1] Pasal 1 angka 11 Undang-undang Pokok
Perbankan Nomor 10 tahun 1998.
[2] Thomas
Suyatno, dkk, Op. cit. hal. 12
[3] Peraturan
Bank Indonesia Nomor :3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank
[4] R.
Subekti, Op. Cit., hlm. 13.
[5] Ahmad Busro, Hukum Perikatan Berdasarkan Buku III KUH Perdata, Pohon
Cahaya, Jogjakarta, 2012, Hal. 95;
0 comments:
Post a Comment