Thursday, May 17, 2012

PERJANJIAN BAKU (Standartcontract)

PERJANJIAN BAKU (Standartcontract)
Arif Indra MKn UNDIP 2011

Perjanjian kredit pembiayaan konsumen bentuk dan materi perjanjiannya berbeda-beda tidak ada bentuk baku yang berlaku secara umum. Bentuk dan materi perjanjian kredit pembiayaan konsumen disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pihak yang membuatnya. Walaupun bentuk dan materi yang berbeda-beda dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen, namun ada beberapa istilah-istilah yang secara umum digunakan dalam perjanjian tersebut.
Istilah-istilah yang secara umum dipakai pada perjanjian pembiayaan konsumen, secara langsung merupakan awal dari terbentuknya perjanjian baku atau kontrak baku (standart contract), disamping faktor non yuridis adanya tuntutan dalam perkembangan dunia usaha yang menghendaki sistem pelayanan yang efektif, efisien, dan ekonomis.
Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak kreditor, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Pihak lain yaitu debitor, umumnya disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli. Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.[1]
Model, rumusan, dan ukuran tersebut sudah dibakukan dan tidak dapat diganti, diubah atau dibuat lagi dengan cara lain karena pihak pengusaha sudah mencetaknya dalam bentuk formulir yang berupa blanko naskah perjanjian lengkap didalamnya sudah dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau yang disebut dengan dokumen bukti perjanjian yang memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib dipenuhi olehpihak debitor.
 Pihak kreditor dalam merumuskan atau menuangkan syarat-syarat perjanjian tersebut biasanya menggunakan bentuk nomor-nomor atau pasal-pasal atau klausula-klausula tertentu yang mengandung arti tertentu pula, yang pada dasarnya hanya dipahami oleh pihak kreditor dan ini merupakan kerugian bagi debitor karena sulit atau tidak bisa memahaminya dalam waktu yang singkat..
Disini terlihat sifat adanya perjanjian baku, yaitu perjanjian yang diperuntukkan bagi setiap debitor yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis ini. Tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitor yang satu dengan yang lain. Jika debitor menyetujui salah satu dari syarat-syaratnya, maka debitor hanya mungkin bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan isi sama sekali tidak ada.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :[2]
a.   Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.
b.   Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c.   Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah.
d.   Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan



[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87
[2] Mariam Darus Badrulzaman, Kumpulan Pidato Pengukuhan. Bandung, Alumni, 1991, hal 99.

Share

0 comments:

Post a Comment