Arif Indra MKn
UNDIP 2011
Pada umumnya
setiap pengikatan perjanjian kredit Bank, seperti telah diuraikan diatas
menggunakan perjanjian baku (kontrak baku/standart
contract). Bentuk perjanjian baku dalam kredit bank, bukanlah merupakan
bentuk pengingkaran atas asas kebebasan berkontrak sepanjang di dalam
perjanjian baku yang dibuat tetap menegakkan atau mendasarkan pada asas-asas
umum perjanjian, seperti syarat-syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH
Perdata, serta tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan adanya keseimbangan
terhadap para pihak yang membuatnya.
Sehingga
dalam perjanjian baku harus menghilangkan unsur-unsur penekanan kepada pihak
lain, karena kekuatan kepentingan yang dimiliki oleh salah satu pihak dalam
perjanjian baku yang dibuatnya. Rumusan perjanjian baku harus menghindari
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur-unsur yang akan mengakibatkan
timbulnya itikat buruk salah satu pihak,
b. Unsur-unsur yang dapat menimbukan
terjandinya pemaksaan yang disebabkan adanya ketidakseimbangan kepentingan
diantara para pihak yang terlibat,
c. Unsur-unsur syarat-syarat atau
klausula-klausula yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja
d. Unsur-unsur risiko akibat perjanjian yang
dibuat tidak boleh hanya dibebankan salah satu pihak saja;
e. Unsur-unsur Pembatasan hak dalam
menggunakan upaya hukum[1]
Pada
perjanjian Pembiayaan konsumen, pengertian secara umum menempatkan kedudukan
debitor pada kedudukan sebagai pihak yang
memiliki kepentingan yang lebih besar dari pihak kreditor. Kedudukan
Debitor dalam pengikatan perjanjian pembiayaan konsumen ini, didasarkan pada
perjanjian pokok yang mendahuluinya, yaitu perjanjian Jual-beli, dimana
kedudukan Debitor dalam perjanjian jual-beli (Pasal 1457 KUH Perdata) ini
adalah sebagai pihak Pembeli atas suatu barang yang dikehendaki.
Pada Pasal 1457
KUH Perdata, mengatur bahwa
”Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lainnya untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”
Kedudukan Debitor dalam perjanjian jual
beli menurut pasal ini adalah pihak lain yang harus membayar setelah mencapai
kesepakatan atas barang dan harga barang yang diperjanjikan. Pada perjanjian
jual beli, menurut pasal 1458 KUH Perdata, tidak mensyaratkan penyerahan dan
pembayaran untuk terjadinya kesepatan dalam perjanjian jual beli.
Kewajiban
pokok sebagai pihak pembeli dalam perjanjian jual beli adalah membayar harga
pembelian pada waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian
jual-beli (Pasal 1513 KUH Perdata). Sering kali yang terjadi, pihak pembeli
pada saat mengikatkan diri dalam perjanjian jual-beli, belum memiliki dana yang
cukup untuk membayar harga atas barang yang telah disepakati itu. Sehingga pada
posisi untuk memenuhi kewajiban sebagai Pembeli yaitu melunasi harga barang
yang telah disepakati dengan pihak Penjual, Pihak Pembeli mencari pihak
penyedia dana agar dapat dipenuhinya kewajibannya.
Jika kita
kembali lagi pada persoalan Perjanjian pembiayaan konsumen, adalah bersifat
asesoir artinya timbulnya perjanjian pembiyaan konsumen karena ada perjanjian
pokok yang mendahuluinya. Sehingga pada kontek perjanjian pembiayaan konsumen
kedudukan Debitor adalah sebagai pihak yang telah dibebani kewajiban terlebih
dahulu dari perjanjian pokok yang telah disepakati terlebih dahulu.
Posisi demikian
tentunya tidak lah mengutungkan bagi pihak debitor dalam perjanjian pembiayaan
konsumen, sehingga apabila disodorkan kontrak baku yang rumusan dan klausula
yang telah dibuat oleh pihak kreditor, maka sering kali debitor tidak dapat
untuk menyangkal atau menolaknya. Hal ini hanya diharapkan dari itikat baik
dari pihak kreditor yang membuat rumusan dan klausula dalam perjanjian baku
terbut.
Pengontrol
dari perjanjian baku agar melindungi para pihak didalamnya, selain yang telah
diuraikan diatas menurut pendapat Dr. H. Ahmad Busro, SH, M. Hum, yaitu melalui
pasal 1338 dan pasal 1339 KUH Perdata. Kententuan perundang-undangan yang lebih
eksplisit dalam memberikan perlindungan bagi Debitor dalam hal ini kedudukannya
sebagai pihak konsumen atas produk perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya.
Ketentuan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Pelindungan Konsumen.
Pada Pasal
18 ayat [2] Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, mengatur bahwa :
”Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.”
Apabila ternyata perjanjian baku yang
dibuat para pihak itu memuat klausula-klausula atau syarat-syarat dan rumusan
yang kabur (tidak ada kepastian) dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat
dibaca dengan jelas serta pengungkapannya
sulit dimengerti oleh para pihak maka berlaku asas the promise too vague to be enforce dan a contract meaningless artinya maka perjanjian baku tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat dan batal demi hukum (Pasal 18 ayat [3] Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999.
Dengan
demikian perjanjian baku yang dibuat oleh bank atau lembaga pembiayaan lain
haruslah disesuakan dengan undang-undang tentang perlindungan konsumen ,
apabila didalamnya bertentangan dengan undang-undang perlindungan konsumen, maka
debitor dapat menuntut untuk pembatalan atau dengan sendirinya batal demi
hukum. Sehingga pada akhirnya didalam perjanjian baku telah memuat seluruh
kepentingan para pihak yang ada didalamnya.
0 comments:
Post a Comment