Thursday, May 17, 2012

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM PADA PERJANJIAN KREDIT PEMBIAYAAN KONSUMEN

Arif Indra MKn UNDIP 2011
Pada umumnya setiap pengikatan perjanjian kredit Bank, seperti telah diuraikan diatas menggunakan perjanjian baku (kontrak baku/standart contract). Bentuk perjanjian baku dalam kredit bank, bukanlah merupakan bentuk pengingkaran atas asas kebebasan berkontrak sepanjang di dalam perjanjian baku yang dibuat tetap menegakkan atau mendasarkan pada asas-asas umum perjanjian, seperti syarat-syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata, serta tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan adanya keseimbangan terhadap para pihak yang membuatnya.
Sehingga dalam perjanjian baku harus menghilangkan unsur-unsur penekanan kepada pihak lain, karena kekuatan kepentingan yang dimiliki oleh salah satu pihak dalam perjanjian baku yang dibuatnya. Rumusan perjanjian baku harus menghindari unsur-unsur sebagai berikut :
a.       Unsur-unsur yang akan mengakibatkan timbulnya itikat buruk salah satu pihak,
b.      Unsur-unsur yang dapat menimbukan terjandinya pemaksaan yang disebabkan adanya ketidakseimbangan kepentingan diantara para pihak yang terlibat,
c.       Unsur-unsur syarat-syarat atau klausula-klausula yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja
d.      Unsur-unsur risiko akibat perjanjian yang dibuat tidak boleh hanya dibebankan salah satu pihak saja;
e.       Unsur-unsur Pembatasan hak dalam menggunakan upaya hukum[1]
Pada perjanjian Pembiayaan konsumen, pengertian secara umum menempatkan kedudukan debitor pada kedudukan sebagai pihak yang  memiliki kepentingan yang lebih besar dari pihak kreditor. Kedudukan Debitor dalam pengikatan perjanjian pembiayaan konsumen ini, didasarkan pada perjanjian pokok yang mendahuluinya, yaitu perjanjian Jual-beli, dimana kedudukan Debitor dalam perjanjian jual-beli (Pasal 1457 KUH Perdata) ini adalah sebagai pihak Pembeli atas suatu barang yang dikehendaki.
Pada Pasal 1457 KUH Perdata, mengatur bahwa
”Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lainnya untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”
Kedudukan Debitor dalam perjanjian jual beli menurut pasal ini adalah pihak lain yang harus membayar setelah mencapai kesepakatan atas barang dan harga barang yang diperjanjikan. Pada perjanjian jual beli, menurut pasal 1458 KUH Perdata, tidak mensyaratkan penyerahan dan pembayaran untuk terjadinya kesepatan dalam perjanjian jual beli.
Kewajiban pokok sebagai pihak pembeli dalam perjanjian jual beli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian jual-beli (Pasal 1513 KUH Perdata). Sering kali yang terjadi, pihak pembeli pada saat mengikatkan diri dalam perjanjian jual-beli, belum memiliki dana yang cukup untuk membayar harga atas barang yang telah disepakati itu. Sehingga pada posisi untuk memenuhi kewajiban sebagai Pembeli yaitu melunasi harga barang yang telah disepakati dengan pihak Penjual, Pihak Pembeli mencari pihak penyedia dana agar dapat dipenuhinya kewajibannya.
Jika kita kembali lagi pada persoalan Perjanjian pembiayaan konsumen, adalah bersifat asesoir artinya timbulnya perjanjian pembiyaan konsumen karena ada perjanjian pokok yang mendahuluinya. Sehingga pada kontek perjanjian pembiayaan konsumen kedudukan Debitor adalah sebagai pihak yang telah dibebani kewajiban terlebih dahulu dari perjanjian pokok yang telah disepakati terlebih dahulu.
Posisi demikian tentunya tidak lah mengutungkan bagi pihak debitor dalam perjanjian pembiayaan konsumen, sehingga apabila disodorkan kontrak baku yang rumusan dan klausula yang telah dibuat oleh pihak kreditor, maka sering kali debitor tidak dapat untuk menyangkal atau menolaknya. Hal ini hanya diharapkan dari itikat baik dari pihak kreditor yang membuat rumusan dan klausula dalam perjanjian baku terbut.
Pengontrol dari perjanjian baku agar melindungi para pihak didalamnya, selain yang telah diuraikan diatas menurut pendapat Dr. H. Ahmad Busro, SH, M. Hum, yaitu melalui pasal 1338 dan pasal 1339 KUH Perdata. Kententuan perundang-undangan yang lebih eksplisit dalam memberikan perlindungan bagi Debitor dalam hal ini kedudukannya sebagai pihak konsumen atas produk perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya. Ketentuan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen.
Pada Pasal 18 ayat [2] Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, mengatur bahwa :
”Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.”

Apabila ternyata perjanjian baku yang dibuat para pihak itu memuat klausula-klausula atau syarat-syarat dan rumusan yang kabur (tidak ada kepastian) dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca dengan jelas serta  pengungkapannya sulit dimengerti oleh para pihak maka berlaku asas the promise too vague to be enforce dan a contract meaningless artinya maka perjanjian baku tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan batal demi hukum (Pasal 18 ayat [3]  Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999.
Dengan demikian perjanjian baku yang dibuat oleh bank atau lembaga pembiayaan lain haruslah disesuakan dengan undang-undang tentang perlindungan konsumen , apabila didalamnya bertentangan dengan undang-undang perlindungan konsumen, maka debitor dapat menuntut untuk pembatalan atau dengan sendirinya batal demi hukum. Sehingga pada akhirnya didalam perjanjian baku telah memuat seluruh kepentingan para pihak yang ada didalamnya.



[1] Muhamad Djumhana, Op.cit. Hal. 387
Share

0 comments:

Post a Comment