Monday, April 2, 2012

TUGAS PAW KE 2

TUGAS KELOMPOK
PEMBUATAN AKTA WARIS (PAW)
KELOMPOK V

PENGECUALIAN TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN DALAM LAPANGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN YANG TIDAK DAPAT BERALIH KEPADA AHLI WARIS

A.     Pengertian Hukum Waris Menurut KUH Perdata
Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. Demikian Pitlo memberikan pengertian mengenai hukum waris. [1]
Pengertian yang dikemukakan oleh Pitlo ini, adalah Konsepsi Hukum Waris menurut Hukum Perdata Barat yang bersumber dari Burgerlijk Wetboek (BW). Hukum waris menurut konsepsi Hukum Perdata Barat merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan. Oleh karena itu, hanya mengatur mengenai Hak dan Kewajiban terhadap harta kekayaan sebagai warisan dan yang akan diwariskan. Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian.(Pasal 830 KUH Perdata)
Berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 830 KUH Perdata, di dalam Hukum Waris mengandung asas bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah yang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan. Peralihan hak dan kewajiban dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada sekalian ahli warisnya, terjadi seraca sendiri atau otomatis, tanpa dibutuhkan tindakan tertentu dari ahli waris tersebut. (Pasal 833 ayat [1] KUH Perdata)
Beralihnya hak dan kewajiban pewaris secara otomatis atau tanpa dibutuhkan tindakan tertentu dari ahli warisnya disebut dengan Hak Saisine, yaitu

Ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu

Hak Saisine tidak hanya pada pewarisan menurut undang-undang saja, tetapi berlaku juga pada pewarisan dengan surat wasiat. (Pasal 955 KUH Perdata). Hak saisine tidak dipunyai oleh negara. Dengan demikian Hak Saisine membedakan negara sebagai ahli waris dengan ahli waris lainnya. Baru setelah ahli waris tidak ada, maka semua harta warisan akan jatuh kepada negara. Negara tidak secara otomatis memperoleh warisan tetapi harus dengan keputusan Pengadilan Negeri.[2]
B.     Hak Menuntut Pemisahan Harta Warisan
Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Seseorang pewaris mempunyai kebebasan untuk mencabut hak waris dari para ahli warisnya, tetapi untuk ahli waris ab intestato (tanpa wasiat) oleh Undang-Undang diadakan bagian tertentu yang harus diterima oleh mereka, bagian yang dilindungi oleh hukum, karena mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan dengan si pewaris sehingga pembuat Undang-Undang menganggap tidak pantas apabila mereka tidak menerima apa-apa sama sekali.[3]
Undang-Undang melarang seseorang semasa hidupnya menghibahkan atau mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang lain dengan melanggar hak dari para ahli waris ab intestato itu. Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi undang-undang itu dinamakan “Legitimaris” sedang bagiannya yang dilindungi oleh Undang-Undang itu dinamakan “legitime portie”. Jadi harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua, yaitu “legitime portie” (bagian mutlak) dan “beschikbaar” (bagian yang tersedia). Bagian yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh menghibahkannya sewaktu ia masih hidup atau mewasiatkannya.
Legitime portie (Hak Mutlak) yang dimiliki oleh ahli waris ab intestato menjadi hak yang terpenting dan merupakan ciri khas dari hukum waris. adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan”. Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pemisahan/pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya.[4] Ketentuan ini diatur dalam pasal 1066 KUH Perdata, yaitu:

Pasal 1066
1.      Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi
2.      Pemisahan harta itu setiap waktu dapat dituntut, biarpun ada larangan untuk melakukannya.
3.      Namun dapatlah diadakan persetujuan untuk selama suatu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan
4.      Persetujuan demikian hanyalah mengikat untuk selama lima tahun, namun setelah lewatnya tenggang waktu itu, dapatlah persetujuan itu diperbaharui

Dari ketentuan pasal 1066 KUH Perdata tentang pemisahan harta peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa sistem hukum waris menurut KUH Perdata memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di antaranya hukum waris menurut KUH Perdata menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris. 


[1] A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (Alih Bahasa M. Isa Arief). Intermasa, Jakarta, 1979,  Hal. 1
[2] Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, hal.9
[3]  Ibid., hal. 6
[4] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia. Sumur, Bandung, 1974,  hal. 12
Share

0 comments:

Post a Comment