Perjanjian jual beli hak atas tanah dan bangunan berbeda
dengan perjanjian jual beli pada umumnya yang diatur dalam KUH Perdata.
Perjanjian jual beli hak atas tanah dan bangunan, memiliki pengaturan secara khusus
dalam pelaksanaannya. Perjanjian jual beli hak atas tanah dan bangunansecara
umum harus memenuhi ketentuan yang berlaku dalam KUH Perdata.
Perjanjian jual beli dalam pengertian KUH Perdata adalah
merupakan perjanjian bernama yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan 1540
KUH Perdata, yaitu perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai
pengaturannya secara khusus dalam undang-undang.[1]
Perjanjian jual beli adalah bersifat Obligatoir, artinya
perjanjian yang dibuat oleh para pihak menimbulkan schuld dan haftung (menimbulkan
hak dan tanggungjawab), kecuali undang-undang menentukan lain. Perjanjian jual beli
termasuk dalam perjanjian bernama, karena pengertiannya diatur secara tegas
dalam KUH Perdata yaitu pada Pasal 1457 KUH Perdata, yang mengatur bahwa :
Perjanjian jual beli adalah persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.
Perjanjian jual beli, mensyaratkan 2 (dua) tahapan, yaitu
tahap perjanjian jual beli bersifat obligatoir,
perjanjian jual beli lahir dengan cukup adanya kesepakatan mengenai harga dan
barangnya, tidak mensyaratkan mengenai waktu pembayaran dan penyerahannya. Kesepakatan
dalam perjanjian jual beli sesuai dengan Pasal 1457 KUH Perdata adalah mengenai
harga dan barang. Kesepakatan ini belum
menyebabkan beralihnya hak atas objek perjanjian dari pihak penjual kepada
pihak pembeli.[2]
Tahap berikutnya adalah penyerahan (levering) benda yang menjadi objek perjanjian. Kesepakatan ini
belum menyebabkan beralihnya hak atas objek perjanjian dari pihak penjual
kepada pihak pembeli. Peralihan hak baru terjadi menurut ketentuan Pasal 1458
KUH Perdata setelah dilakukan penyerahan atas objek perjanjian. Penyerahan dalam perjanjian menurut Hukum
perdata merupakan waktu berpindahnya hak milik atas kebendaan, dimana dikenal
adanya penyerahan nyata dan penyerahan hak milik secara yuridis (kepercayaan)
seperti yang terjadi pada perjanjian kredit bank.[3]
Perjanjian jual beli menurut KUH perdata tidak
mensyaratkan harus dibuat dengan akta otentik untuk berlakunya perjanjian
tersebut. Lahirnya perjanjian jual beli cukup dengan telah terjadinya
kesepakatan tentang harga dan barang, tidak mensyaratkan harus dibuat dihadapan
pejabat umum, bahkan perjanjian jual beli dapat dilakukan cukup dengan lisan.
Kesepakatan mengenai harga dan barang dalam perjanjian jual
beli, merupakan bagian dari syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata, tidak terpenuhi syarat pada perjanjian jual beli, dapat mengakibatkan
batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Kesepakatan dan kecakapan para pihak
yang mengikatkan diri merupakan syarat subjektif yaitu syarat yang melekat pada diri para pihak yang
membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tidak memenuhi
syarat subjektif maka mengakibatkan
perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Maksudnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan
apabila ada yang memohonkan pembatalan.
Syarat suatu hal tertentu yang menjadi objek dari
perjanjian dan perjanjian dibuat karena sebab yang halal menjadi syarat yang
bersifat objektif artinya syarat tersebut melekat pada objek dari perjanjian,
sehingga apabila syarat ini tidak terpenuhi mengakibatkan perjanjian tersebut
batal demi hukum. Perjanjian yang dibuat dianggap tidak pernah ada, artinya
sejak semula perjanjian tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah ada suatu
perikatan.
Perjanjian jual beli yang merupakan pemindahan hak atas
tanah dan bangunan, secara umum harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, walaupun pemindahan hak atas tanah dan
bangunan berlaku konsepsi hukum tanah adat, yang bersifat “tunai, terang dan
riil”. Kewajiban harus dipenuhinya syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320
KUH Perdata, karena konsepsi hukum tanah adat yang menjadi dasar berlakunya
ketentuan tentang hukum tanah nasional tidak mengatur mengenai syarat sahnya
pemindahan hak atas tanah dan bangunan.
Pemindahan hak atas tanah dan bangunan melalui perjanjian
jual beli, merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, yaitu perbuatan hukum yang
sengaja dilakukan untuk memindahkan suatu hubungan hukum konkrit kepada pihak
lain, adalah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat “Tunai”,
yaitu harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan perjanjian
jual beli yang bersangkutan, dengan demikian dalam hukum adat tidak mengenal
penyerahan secara yuridis dari penjual kepada pembeli, karena penyerahan hak
atas tanah dari penjual kepada pembeli dilakukan bersamaan dengan kewajiban
pembeli membayar lunas kepada penjual, sejumlah harga yang telah disepakati
sebelumnya. [4]
Pemindahan hak atas tanah dan bangunan, harus dibuat dengan
akta otentik dan dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kemudian akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ini harus menunjukkan
kenyataan atau fakta yang ada dan diwajibkan untuk dilakukan pendaftaran. Ketentuan
ini sebagai pelaksanaan asas “terang dan riil” dalam konsepsi hukum adat.
Berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria, memberikan pemahaman bahwa pengertian perjanjian
jual beli tanah bukan lagi suatu perjanjian seperti dalam Pasal 1457 juncto 1458 KUH Perdata, melainkan
ketentuan, yang termasuk dalam perbuatan hukum pemindahan hak yang selamanya
bersifat ”Tunai, Terang dan Riil”. Walaupun secara yuridis formal pengertian perjanjian
jual beli itu sendiri oleh Undang-Undang Pokok Agraria tidak diterangkan secara
jelas tetapi berdasar pada Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa
Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Tanah Adat, berarti kita menggunakan
konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat.[5]
Pengertian bahwa Hukum Tanah
Nasional kita adalah Hukum Adat, maka hukum tanah adat dipahami sebagai sumber
utama dalam membuat aturan-aturan pembentukan Hukum Agraria Nasional. Hukum
Tanah Adat dijadikan sumber utama dalam mengambil bahan-bahan untuk pembentukan
Hukum Agraria Nasional. Hukum Tanah Adat sebagai sumber utama dalam pembentukan
Hukum Agraria Nasional, mengandung arti bahwa Hukum Tanah Adat dijadikan
sebagai sumber pokok, tetapi bukan menjadikan Hukum Tanah Adat sebagai
satu-satunya sumber pembentukan Hukum Agraria Nasional, sehingga masih
dimungkinkan sumber lain diluar Hukum Tanah Adat.[6]
Hukum Tanah Adat bukan menjadi satu-satunya sumber bagi
Hukum Agraria Nasional, dikarenakan norma-norma yang ada dalam hukum tanah adat
sudah ketinggalan jaman. Salah satunya
adalah yang diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria, untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah maka diwajibkan diadakannya Pendaftaran Tanah
setiap kali terjadi perbuatan hukum hak atas tanah.
Pendaftaran peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh
PPAT, sesuai dengan ketentuan tentang Peraturan Jabatan PPAT yakni Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, jucto Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, yang telah dirubah dengan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 23 tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 3 bahwa : PPAT
mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai
semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 mengenai hak
atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah
kerjanya
Akta yang dibuat oleh PPAT dimaksudkan sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu,
demikian diatur dalam Pasal 2 ayat 1, Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 37 tahun 1998, yang telah dirubah dengan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 23 tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Pendaftaran peralihan hak atas tanah dan bangunan,
kecuali pendaftaran peralihan hak melalui lelang hanya dapat dilakukan apabila
dapat dibuktikan bahwa pendaftaran peralihan hak tersebut didasarkan pada akta
yang dibuat oleh PPAT. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 37 ayat 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi sebagai
berikut :
Peralihan hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun melalui perjanjian jual beli, tukar menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban pembuatan Akta perjanjian jual beli yang harus
dilakukan di hadapan PPAT ini, pada perkembangannya mengalami pergeseran dari
tujuan awal, yang semula ditujukan untuk menjamin kepastian hukum bagi para
pihak, yang kemudian bergeser pada anggapan bahwa konsepsi ”Tunai, Terang dan
Riil” yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria, tidak bisa mengikuti
perkembangan kebutuhan pelaku ekonomi dalam mengembangkan usahanya.
Perjanjian jual beli pemindahan hak
atas tanah dan bangunan dalam praktik, tidak seluruhnya dilakukan dengan tunai.
Pembayaran harga tanah tidak seluruhnya dibayar lunas oleh pihak Pembeli,
bahkan Penjual hak atas tanah dan bangunan yang secara terang-terangan
menawarkan tanah dan bangunannya dengan pembayaran secara angsuran. Contoh
nyata dalam masyarakat, penawaran yang dilakukan oleh Pengembang (Developer) perumahan, dengan fasilitas
pembiayaan kredit pemilikan rumah.
Konsep perjanjian jual beli tanah
dan bangunan melalui kredit pemilikan rumah, merupakan konsepsi hukum yang
berasal dari ketentuan hukum barat, yaitu Hukum Perdata. Kredit kepemilikan
rumah, merupakan konsep perjanjian jual beli dengan angsuran yang menempatkan
hak atas tanah dan bangunan dari objek perjanjian jual beli sebagai jaminan.
Hak jaminan yang berupa hak atas tanah
dan bangunan pada ruang lingkup hukum perdata sebagai lembaga hak tanggungan.
Hak tanggungan dalam hukum tanah
nasional merupakan sumber hukum lain diluar hukum tanah adat yang diakui
sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang bertujuan untuk melayani
perkreditan modern yang tidak dikenal dalam konsepsi hukun tanah adat.
Diakuinya lembaga Hak tanggungan dalam hukum tanah nasional, bukan berarti
konsepsi hukum tanah adat dalam perjanjian jual beli hak atas tanah dan
bangunan yaitu sifat ”tunai, terang dan riil”, harus diterapkan dalam kontruksi
hukum hak tanggungan.[7]
Berlakunya hak tanggungan yang
merupakan pembebanan terhadap hak atas tanah dan bangunan yang bersumber hukum
lain diluar hukum tanah adat, tidak harus tunduk pada hukum dan persyaratan
hukum yang berlaku pada lembaga hukum adat. Hak tanggungan sebgai lembaga
jaminan hak atas tanah dan bangunan diatur dalam Undang-undang Nomor 4 tahun
1996 tentang hak tanggungan.
Hak tanggungan meskipun merupakan
sumber hukum lain diluar konsepsi hukum adat tetapi lahirnya lembaga hak
tanggungan diamanatkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa : Hak
tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak
guna-bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang.
Pengaturan Hak Tanggungan atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria, menjadi
bukti betapa bernilai hak atas tanah sehingga dibutuhkan pengaturan secara
khusus dalam undang-undang tersendiri
Hak
Tanggungan, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, adalah :
”Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lainnya”.
Pemberian hak tanggungan didahului
dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang
tertentu, yang dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut. Oleh
karena hak tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada
suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang-piutang
atau perjanjian lain, maka kelahiran dari keberadaannya ditentukan oleh adanya
piutang yang dijamin pelunasannya.
Hak
tanggungan juga mensyaratkan dilakukannya pendaftaran sebagai bagian dari jaminan kepastian hukum bagi pemegang
hak tanggungan. Pendaftaran hak tanggungan ini berakhir pada terbitnya
sertipikat hak tanggungan. Sertipikat hak tanggungan diterbitkan sebagai bukti
jaminan hutang debitor, sehingga apabila hutang debitor telah lunas maka
berkahir pula berlakunya sertipikat hak tanggungan ini.
Berakhirnya
pembebanan hak atas tanah dan bangunan dengan hak tanggungan dilakukan dengan mencoret
(roya) catatan Hak Tanggungan
tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertipikatnya, dengan melampirkan
Sertipikat Hak Tanggungan yang dilampiri catatan atau pernyataan dari kreditor
bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak
Tanggungan itu sudah lunas.
Perkembangan
perkreditan modern telah merubah tata guna tanah atau alih fungsi tanah yaitu
dari tanah pertanian beralih fungsi menjadi sarana untuk menunjang kegiatan
pelaku ekonomi. Tanah yang semula merupakan bagian dari subsistem sarana
produksi bagi rakyat sebagai pemilik berubah menjadi alat produksi bagi pelaku
ekonomi. [8]
Perjanjian jual beli hak atas tanah
dan bangunan yang dilakukan dibawah tangan ini, sering kali terjadi pada hak
atas tanah dan bangunan yang masih dibebankan dengan hak tanggungan berupa
kredit pembiayaan rumah. Sebelum kredit pemilikan rumah lunas atau selesai, hak
atas tanah dan bangunan yang menjadi objek hak tanggungan dijual kepada pihak
ketiga hanya dengan perjanjian jual beli dibawah tangan.
Perjanjian jual beli hak atas tanah
dan bangunan yang dilakukan dibawah tangan ini banyak menimbulkan permasalahan
hukum yang pada akhirnya bermuara pada penyelesaian sengketa melalui putusan
Pengadilan. Beberapa kasus terjadi di Pengadilan Negeri Bekasi, diantaranya :
Putusan Nomor : 62/PDT.G/2008/PN.BKS, Putusan Nomor : 322/Pdt.G/2009/PN.Bks,
dan Putusan Nomor : 207/Pdt.G/2009/PN.Bks.
Putusan Pengadilan Negeri Bekasi di
atas, terhadap duduk perkaranya dengan alasan gugatan secara garis besar sama,
yaitu berawal dari telah diterimanya fasilitas kredit pemilikan rumah kepada
tergugat, tetapi sebelum tergugat melunasi fasilitas kredit pemilikan rumah,
telah menjual atau mengalihkan kepada penggugat yang dilakukan dengan membuat perjanjian
jual beli dibawah tangan atau tidak dilakukan dihadapan PPAT atau tidak dengan
perjanjian pengikatan jual beli dihadapan Notaris, hanya berdasarkan pada bukti
kwitasi pembayaran. Kemudian Penggugat melunasi sisa angsuran atas fasilitas
kredit pemilikan rumah tergugat kepada tergugat II.
Ketiga Putusan Pengadilan Negeri Bekasi
tersebut, mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, menyatakan perjanjian jual
beli yang dilakukan penggugat sah. Menyatakan hak atas tanah dan bangunan yang
menjadi objek perjanjian jual beli adalah sah milik penggugat, menghukum
kreditor sebagai tergugat II untuk menyerahkam surat-surat dokumen/sertipikat
hak atas tanah yang dimaksud kepada penggugat dan memberikan ijin kepada
penggugat dan atau kuasanya untuk menghadap Notaris atau PPAT untuk membuat
akta perjanjian jual beli dengan tergugat I.
[1] Juswito Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian Buku I, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 149;
[2] R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa,
2011). hlm. 38;
[3] Ibid. hlm. 39;
[4] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), (Jakarta : Djambatan, 2007), hlm. 27;
[5] Andrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2008), hlm. 76;
[6]
Achmad
Chulemi, Hukun Agraria Perkembangan Macam-Macam Hak atas Tanah dan
Pemindahannya, (Semarang : Penerbit Fakultas Hukum Undip,1997), hlm. 24-25;
[7] Boedi Harsono, Op., cit., hlm. 206;
[8]
Yusriyadi, Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah,
(Yogyakarta : Genta Publishing, 2010),hlm. 14;
Perikatan jual beli tanah, GAGAL karena obyek tidak ada.
ReplyDeletePerikatan menjadi alat bukti gugatan perdata terhadap pihak pihak :
1.Tergugat I.III.IV.V.pihak pemilik Ruko
2.Tergugat II dan VI.pihak yang bertanggung jawab menyerahkan obyek dalam perikatan.
Dapatkah gugatan ini di terima ?
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
ReplyDeletehingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
profit,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009