oleh : Arif Indra Setyadi
sistem hukum perdata di
Indonesia khususnya mengenai perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata
menganut sistem terbuka, artinya setiap
orang bebas membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan para pihak, atau
berlakunya asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 dan 1339 KUH
Perdata, asas inilah yang menjadi landasan luas bagi kreditor untuk membuat
mempersiapkan dahulu bentuk, isi, dan syarat-syarat dari perjanjian dalam
bentuk baku yaitu bentuk blanko dan berlaku secara umum, sedangkan pihak
debitor hanya dapat menyepakati.
Tujuannya untuk menekan
serendah mungkin risiko kerugian yang mungkin timbul bagi perusahaan dalam
menjalankan hubungan bisnis dengan pihak luar, juga merupakan cara yang cepat
dan praktis dalam melayani para konsumen dari perusahaaan tersebut secara
massal, sehingga kreditor akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya,
tenaga dan waktu.
Posisi kreditor pada umumnya
cenderung lebih kuat dibandingkan dengan konsumen, sehingga terdapat
ketidaksetaraan posisi dari masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut.
Debitor tidak mempunyai kekuatan melakukan penawaran untuk mengubah persyaratan
yang telah ditentukan oleh pihak kreditor, sehingga cenderung menerima persyaratan
yang ditentukan secara sepihak oleh kreditor.
Kondisi yang demikian,
sangat dimungkinkan kreditor memasukan klausula eksonerasi dalam isi perjanjian
baku. Klausula eksonerasi, adalah perjanjian
yang disertai syarat-syarat mengenai kewenangan salah satu pihak dalam hal ini
produsen tentang pengalihan kewajiban atau tanggung jawabnya terhadap produk yang
merugikan konsumen.[1]
Klausula eksonerasi dalam
pelaksanaaan perjanjian baku dikemudian hari jika pihak debitor merasa
dirugikan atau terdapat kepentingannya yang tidak dilindungi, dapat menimbulkan
permasalahan hukum. Penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku, bagi debitor
dapat sebagai alasan untuk mengajukan gugatan pembatalan perjanjian baku yang
telah disepakati sebelumnya.
0 comments:
Post a Comment