LEGITIME PORTIE
Pengertian Legitime Portie
Pengertian tentang Legitime Portie ini dapat kita temukan dalam Pasal 913 KUHPerdata. :
“Bagian Mutlak atau legitime Portie, adalah sesuatu bagiam dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris, dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat”.
Legitime Portie (atau wettelijk erfdeel), yang secara harafiah diterjemahkan “sebagai warisan menurut Undang-Undang”, dikalangan praktisi hukum sejak puluhan tahun dikenal sebagai “bagian mutlak” (legitime Portie). Bagian mutlak adalah bagian dari warisan yang diberikan Undang-Undang kepada ahli waris dalam garis lurus ke bawah dan ke atas. Bagian mutlak tidak boleh ditetapkan atau dicabut dengan cara apapun oleh pewaris, baik secara hibah-hibah yang diberikan semasa pewaris hidup maupun dengan surat wasiat melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling).
Menurut Pitlo, bagian yang dijamin oleh Undang-Undang legitime portie/wettlijk erfdel :
“Merupakan hak dia/mereka yang mempunyai kedudukan utama/istimewa dalam warisan. Hanya sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in de rechte lijn) dan merupakan ahli waris ab intestato saja yang berhak atas bagian yang dimaksud”.
Sedangkan legitimaris menurut Pitlo, adalah :
“Ahli waris ab intestato yang dijamin oleh undang-undang bahwa ia akan menerima suatu bagian minimum dalam harta peninggalan yang bersangkutan. Baik dengan jalan hibah
ataupun secara pemberian sesudah meninggal (making bijdode) pewaris tidak boleh mencabut hak legitimaris ini”.
b. Tujuan Adanya Legitime Portie.
Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Seseorang pewaris mempunyai kebebasan untuk mencabut hak waris dari para ahli warinya, karena meskipun ada ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang yang menentukan siapa-siapa akan mewaris harta peninggalannya dan berapa bagian masing-masing, akan tetapi ketentuan-ketentuan tentang pembagian itu bersifat hukum mengatur dan bukan hukum memaksa. Akan tetapi
untuk ahli waris ab intestato (tanpa wasiat) oleh Undang-Undang diadakan bagian tertentu yang harus diterima oleh mereka, bagian yang dilindungi oleh hukum, karena mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan dengan si pewaris sehingga pembuat Undang-Undang menganggap tidak pantas apabila mereka tidak menerima apa-apa sama sekali. Agar orang secara tidak mudah mengesampingkan mereka, maka Undang-Undang melarang seseorang semasa hidupnya menghibahkan atau mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang lain dengan melanggar hak dari para ahli waris ab intestato itu. Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi undang-undang itu dinamakan “Legitimaris” sedang bagiannya yang dilindungi oleh Undang-Undang itu dinamakan “legfitime portie”. Jadi harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua, yaitu “legitime portie” (bagian mutlak) dan “beschikbaar” (bagian yang tersedia). Bagian yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh menghibahkannya sewaktu ia masih hidup atau mewasiatkannya. Hampir dalam perundang-undangan semua negara dikenal lembaga legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai siapa-siapa sajalah yang berhak atasnya dan legitimaris berhak atas apa
Bagian yang kedua itu (bagian mutlak), diperuntukkan bagian para legitimaris bersama-sama, bilamana seorang legitimaris menolak
(vierwerp) atau tidak patut mewaris (onwaardig) untuk memperoleh
sesuatu dari warisan itu, sehingga bagiannya menjadi tidak dapat
dikuasai (werd niet beschikbaar), maka bagian itu akan diterima oleh
legitimaris lainnya. Jadi bila masih terdapat legitimaris lainnya maka
bagian mutlak itu tetap diperuntukkan bagi mereka ini, hanya jika
para legitimaris menuntutnya, ini berarti bahwa apabila legitimaris itu
sepanjang tidak menuntutnya, maka pewaris masih mempunyai
“beschikking-srecht” atas seluruh hartanya.37
c. Ketentuan – Ketentuan Pembatasan Legitime Portie.
Di dalam KUHPerdata asas legitime dilakukan secara hampir
konsekwen, di berbagai tempat dapat diketemukan ungkapan,
ungkapan seperti mengingat (behoudens) peraturan-peraturan yang
36 Hartono Soerjopratiknjo. 1984. Hukum Waris Testamenter. Seksi Notariat Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada : Yogyakarta. Hal. 109
37 Ibid. Hal. 308.
xli
ditulis untuk legitime. Pewaris hanya dapat merampas hak ahli waris
dengan mengadakan perbuatan-perbuatan pemilikan harta kekayaan
sedemikian rupa sehingga tidak meninggalkan apa-apa.
Bila orang sewaktu hidupnya menggunakan harta kekayaannya
sebagai uang pembeli lijfrente (bunga cagak hidup) dapat
mengakibatkan bahwa orang yang tidak meninggalkan apa-apa,
terutama apabila perkawinannya dilangsungkan tanpa perjanjian
kawin.
Di dalam pendapat bahwa legitime adalah tabu dan tidak dapat
disinggung sama sekali maka juga perbuatan hukum yang
menguntungkan legitimaris adalah tidak sah, misalnya si pewaris
meninggalkan pada anak perempuannya yang kawin dalam
kebersamaan harta kawin seluruh harta kekayaan dengan ketentuan
bahwa harta warisannya itu tidak boleh jatuh dalam harta
kebersamaan harta kawin anaknya.
Meskipun ketentuan mengenai legitime bersifat hukum
pemaksa akan tetapi bukan demi kepentingan umum. Ketentuan itu
ada demi kepentingan legitimaris dan bukan kepentingan umum.
Karena itu legitimaris dapat membiarkan haknya dilanggar, hal mana
sangat erat berhubungan dengan pendapat bahwa pelanggaran
legitime tidak mengakibatkan “nietigheid” (kebatalan demi hukum)
xlii
malainkan hanya “eenvoudige vernietigbaareid” (dapat diminta
pembatalannya secara sedehana).38
d. Sifat Hukum Dari Legitime Portie.
Biasanya orang menyimpulkan sifat hukum legitime portie
(bagian mutlak) dari sejarah. Pada permulaan abad kesembilan belas
masih terdapat dua sistem, yaitu sistem Romawi dan sistem Prancis-
Jerman. Pembuat undang-undang tahun 1938 menurut pendapat
Hamaker, Ter Braak telah memilih sistem Romawi, tetapi menurut
pendapat Land Meijers yang telah dipilih adalah sistem Prancis-
Jerman. Ciri dari sistem Prancis-Jerman Bahwa menurut sistem ini
legitimaris adalah ahli waris bagian mutlak dan karena itu untuk
bagian yang seimbang itu ia adalah berhak atas aktivanya dan
menanggung hutang-hutangnya, ciri dari legitime Romawi ialah
bahwa legitimaris tidak dianggap sebagai ahli waris dari bagiannya
melainkan hanya mempunyai hak tagih atas barang-barang seharga
bagian mutlaknya. Sebenarnya mengenai sifat hukum dari legitime itu
tidak dapat dicari di dalam sejarah melainkan dari Undang-Undang itu
sendiri dan jurisprudensi.
Seluruh sifat dari legitime terkandung didalam dua peraturan
yaitu :
1) Legitimaris dapat menuntut pembatalan dari perbuatan-perbuatan
si pewaris yang merugikan legitime portie (bagian mutlak).
38 Ibid. hal. 110
xliii
2) Si pewaris bagaimanapun tidak boleh beschikken (membuat
ketetapan) mengenai bagian mutlak itu.
Apa akibanya bila ketentuan di dalam testament melanggar
peraturan mengenai legitime portie itu :
Ada tiga kemungkinan untuk menjawab pertanyaan diatas yaitu :
1) Ketetapan itu adalah batal;
2) Ketetapan itu adalah “eenvoudige Vernietigbaarheid” (dapat
dibatalkan secara sederhana)
3) Ketetapan itu adalah sah akan tetapi si legitimaris mempunyai hak
tuntut pribadi untuk mendapatkan ganti rugi.
Pembuat undang-undang tidak memilih penyelesaian yang
pertama, ternyata dari Pasal 920 KUHPerdata, yaitu segala pemberian
atau penghibahan, baik antara yang masih hidup maupun dengan surat
wasiat yang mengakibatkan kurangnya bagian mutlak dalam suatu
warisan, kelak boleh dilakukan pengurangan apabila warisan itu
terbuka, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para legitimaris dan ahli
waris pengganti mereka mereka.39 Bahwa juga undang-undang tidak
memilih penyelesaian yang ketiga, sebagaimana ternyata dari Pasal
925 KUHPerdata (menurut mana benda-benda tidak bergerak harus
dikembalikan in natura); Pasal 928 KUHPerdata (benda-benda tak
bergerak harus kembali kedalam budel bebas dari hutang) selanjutnya
dari Pasal 929 dan 926 KUHPerdata (yang mengharuskan agar
39 Ibid. hal. 113
xliv
testament dan hibah yang merugikan bagian mutlak itu harus
dikurangi; dan dari Pasal 924 KUHPerdata (hak legitimaris untuk
mengambil kepuasan bari barang-barang yang telah diberikan dengan
kehendak terakhir. Jadi ternyata Undang-Undang memilih
penyelesaian yang kedua, yaitu “eenvoudige vernietigbaarheid”
(dapat dibatalkan secara sederhana). Maka mengenai barang-barang
yang disebut dalam testament itu tidak pernah ada ketetapan apa-apa,
ternyata dari Pasal 955 KUHPerdata (mereka yang oleh undangundang
diberi hak mewaris suatu bagian dalam harta peninggalan
dengan sendirinya menurut hukum menggantikan tempat si pewaris
sebagai pemilik barang itu.
e. Legitimaris yang Menolak Legitime Portie
Bagaimanakah akibatnya jika seorang yang berhak atas
legitime portie (bagian mutlak) menolak warisan , apakah orang lain
karena itu menjadi legitimaris, apabila seorang meninggal dunia
dengan meninggalkan kakak dan kakek maka warisannya jatuh pada
kakeknya ?, Kakek memang keluarga dalam garis lurus akan tetapi
bukan ahli waris (golongan ketiga) sedangkan kakak (golongan
kedua), Kakek sebagai ahli waris golongan ketiga tidak akan mewaris
jika golongan kedua masih ada, karena itu kakek ini tidak berhak atas
legitime. Apabila kakaknya menolak warisan (Pasal 1058
KUHPerdata) maka baru kakek menjadi ahli waris. Apakah bagian
mutlak dari salah seorang ahli waris dapat menjadi besar karena ada
xlv
orang lain yang menolak warisan, bagian mutlak selalu merupakan
suatu bagian seimbang dari apa yang akan diterima ahli waris ab
intestato, hal ini diatur dalam Pasal 914 KUHPerdata. Kesulitan yang
sama dapat timbul pada “onterving” (pemecatan sebagai ahli waris)
dan “onwaadig” (ketidak pantasan/tidak patut mewaris).
Undang-undang hanya menyaratkan, bahwa agar seseorang
berhak untuk menuntut atas bagian mutlak (legitime portie), ia harus
merupakan ahli waris ab intestato dalam garis lurus ketas, dengan
tidak memperhatikan apakah ahli waris tersebut secara langsung atau
merupakan ahli waris sebagai akibat dari penolakannya terhadap harta
peninggalan.40
f. Ahli Waris Yang Berhak Atas Legitime Portie
Syarat untuk dapat menuntut suatu bagian mutlak (legitime
portie) adalah :
1) Orang harus merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus, dalam
hal ini kedudukan garwa (suami / isteri) adalah berbeda dengan
anak-anak. Meskipun sesudah tahun 1923 Pasal 852a KUHPerdata
menyamakan garwa (suami/isteri) dengan anak, akan tetapi
suami/isteri tidak berada dalam garis lurus kebawah, mereka
termasuk garis kesamping. Oleh karna itu isteri/suami tidak
memiliki legitime portieatau disebut non legitimaris.
40 Ibid. hal. 310
xlvi
2) Orang harus ahli waris ab intestato. Melihat syarat tersebut tidak
semua keluarga sedarah dalam garis lurus memiliki hak atas
bagian mutlak. Yang memiliki hanyalah mereka yang juga waris
ab instestato.41
3) Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris,
merupakan ahli waris secara ab intestato.42
Untuk ahli waris dalam garis kebawah, jika pewaris hanya
meninggalkan satu orang anak sah menurut Pasal 914 KUHPerdata
adalah ½ dari bagiannya menurut undang-undang, jika meninggalkan
dua orang anak sah, maka besarnya bagian mutlak adalah 2/3 dari
bagian menurut undang-undang dari kedua anak sah tersebut,
sedangkan jika meninggalkan tiga orang anak sah atau lebih, maka
besarnya bagian mutlak adalah ¾ dari bagian para ahli waris tersebut
menurut ketentuan undang-undang. Bagian menurut Undang-Undang
adalah bagian ahli waris atas harta warisan sandainya tidak ada hibah
atau testament yang bisa dilaksanakan.
Untuk ahli waris dalam garis keatas, besarnya bagian mutlak
menurut ketentuan Pasal 915 KUHPerdata, selamanya ½ dari bagian
menurut undang-undang. Sedangkan bagian mutlak dari anak luar
kawin yang telah diakui (Pasal 916 KUHPerdata) selamanya ½ dari
bagian anak luar kawin menurut ketentuan Undang-Undang.
41 Ibid. hal. 118
42 Andasasmita. Op.Cit. Hal. 309.
xlvii
Ahli waris yang tidak mempunyai bagian mutlak atau legitime
portie, yaitu pertama suami/isteri yang hidup terlama. Kedua para
saudara-saudara dari pewaris. Mereka tidak berhak (non legitimaris)
karena berada dalam garis kesamping. Digunakan tidaknya
perhitungan berdasarkan legitime portie sangat tergantung pada ada
atau tidaknya hibah atau testament tang bisa dilaksanakan.43
g. Legitimaris Sebagai Ahli Waris
Apakah legitimaris itu ahli waris atau bukan, ini banyak
dipersoalkan dan diperdebatkan oleh para ahli hukum. Hal ini ada
kaitannya dengan Pasal 920 KUHPerdata yang diantara lain
menyebutkan bahwa tuntutan pengurangan itu hanya dapat terjadi jika
legitimaris (atau ahli waris/penerima haknya) menuntutnya.44
Apabila si pewaris tidak menghabiskan harta kekayaan karena
ia telah menghibahkanya atau mewasiatkannya, maka sisanya atau
yang ada, dibagi diantara para ahli waris ab intestato dalam mana juga
termasuk para legitimaris. Dalam kedudukannya itu tentunya
legitimaris mempunyai saisine (Pasal 833 KUHPerdata). Tetapi
bagaimana jadinya apabila si pewaris telah mengasingkan seluruh
harta kekayaanya.
Undang – Undang memang menggunakan kata-kata “wettlijk
erfdeel” (bagian warisan menurut undang-undang) dan juga
digunakannya sering kata-kata “erfgenamen” (ahli Waris) bila yang
43 Ibid. hal. 68
44 Andasasmita. Op.Cit. Hal. 326
xlviii
dimaksud adalah legitimaris. Karena itu dapat saja disimpulkan bahwa
legitimaris adalah ahli waris, dan dari sini lebih lanjut dapat
disimpulkan bahwa apabila legitimaris menerima pelanggaran atas
hak legitimenya maka ia tetap tidak kehilangan kedudukanya sebagai
ahli waris. Kedudukannya sebagi ahli waris hanyalah dapat hilang
dengan cara seperti yang disebutkan dalam Pasal 1057 KUHPerdata.
Ialah “verwerping” (penolakan) terhadap harta warisan yang harus
dilakukan secara tegas dengan surat pernyataan yang harus dilakukan
secara tegas dilakukan dihadapan panitera Pengadilan Negeri.45
Jika kita memperhatikan berbagai Pasal dalam KUHPerdata,
Pasal 874,913 dan 929, maka jelas bahwa legitimaris merupakan ahli
waris atau mempunyai kedudukan sebagai ahli waris.
Legitimaris hanya merupakan ahli waris apabila ia
mengemukakan haknya atas bagian mutlaknya. Apa yang
dinikmatinya karena “inkorting” (pengurangan) diperolehnya karena
hak ahli waris, tujuan dari tuntutan pengurangan atau pemotongan
adalah agar pemberian-pemberian yang dilakukan dengan hibah atau
wasiat itu dikurangi, jadi batal sepanjang hal itu diperlukan untuk
memberikan kepada legitimaris apa yang menjadi haknya sebagai ahli
waris. Jalan pemikiran demikian dapat ditemukan dalam Pasal 928
KUHPerdata :
“Segala barang tak bergerak yang karena pengurangan harus
kembali lagi dalam harta peninggalan, karena pengembalian.
itu bebaslah dari segala beban, dengan mana si penerima
pengaruniaan telah membebaninya”
Apabila legitimaris mengurangi suatu hibah barang tak
bergerak, maka barang ini bukannya berpindah dari si penerima hibah
ke legitimaris, melainkan hibah itu batal dan dianggap tidak pernah
terjadi, orang yang meninggal itu tidak pernah kehilangan barang dan
dianggap masih selalu berada di dalam budelnya, ternyata setelah
pengurangan itu berpindah karena pewarisan dari si pewaris kepada si
legitimaris, maka ia tidak memperoleh kedudukan sebagai ahli waris
karena hukum, akan tetapi ia menjadi ahli waris oleh karena ia
mengemukakan pembatalan dari ketetapan-ketetapan yang melanggar
legitime nya.
0 comments:
Post a Comment