Konsepsi hukum Indonesia yang bersifat prismatik
Bahan kuliah mid semester POLITIK HUKUM
Prof. DR. Arief Hidayat,SH,MS
Konsepsi prismatik menurut Fred W. Riggs (1964), sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahfud, menyatakan bahwa Pancasila mengandung unsur-unsur yang baik dan cocok dengan nilai khas budaya Indonesia yang meliputi : (1) Pancasila memuat unsur yang baik dari pandangan individualisme dan kolektivisme, dimana di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan sebagai makhluk sosial; (2) Pancasila mengintegrasikan konsep negara hukum “rechtsstaat” yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum “the rule of law” yang menekankan pada common law dan rasa keadilan; (3) Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law); serta (4) Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan oleh satu agama tertentu (negara agama) tetapi juga tidak hampa agama (negara sekuler) karena negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi karena kuantitas pemeluknya.
Berdasarkan pada konsepsi prismatik tersebut, lahirlah beberapa tuntunan sebagai landasan kerja politik hukum nasional, yaitu : (1) hukum-hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang diskriminatif berdasarkan ikatan primordial, dimana hukum nasional harus menjaga keutuhan bangsa dan negara baik secara territori maupun secara ideologi; (2) hukum harus diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah kebijaksanaan dimana dalam pembuatannya harus menyerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan hukum tidak hanya dapat dibentuk berdasarkan suara terbanyak (demokratis) tetapi harus dengan prosedur dan konsistensi antara hukum dengan falsafah yang harus mendasarinya serta hubungan-hubungan hierarkisnya; (3) hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial yang antara lain ditandai oleh adanya proteksi khusus oleh negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah agar tidak dibiarkan bersaing secara bebas tetapi tidak pernah seimbang dengan sekelompok kecil dari bagian masyarakat yang kuat; serta (4) hukum bardasarkan toleransi beragama yang berkeadaban dalam arti tidak boleh ada hukum publik yang didasrkan pada ajaran agama tertentu.
Prof. Mahfud berpendapat bahwa dengan konsep prismatik dan kaidah penuntun hukum yang khas sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, sebenarnya kita sudah mempunyai pegangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tegas jika kemudian ada hukum-hukum yang dipersoalkan karena dinilai keluar dari bingkai penuntunnya, dalam artian kalau memang ada produk hukum yang menyimpang dari empat kaidah penuntun itu, maka haruslah diselesaikan dengan instrumen hukum yang tersedia agar dapat disesuaikan dengan sistem hukum Pancasila yang prismatik.
Dalam bukunya yang berjudul “Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”, Prof. Mahfud memaparkan bahwaa dalam realitas politik di Indonesia, negara ini bukan negara Islam melainkan negara Pancasila, sehingga secara formal kelembagaan tidak memungkinkan umat Islam untuk mewujudkan seutuhnya prinsip-prinsip tentang hukum, terutama dalam bentuk yang resmi.
Bangsa Indonesia memiliki latar belakang masyarakat yang pluralistik, sehingga dalam pengaturan bidang-bidang yang mempunyai sifat sentisif telah dibatasi oleh pemerintah untuk menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Keleluasaan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah telah diatur dengan batasan-batasan yang jelas dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1999 yang berbunyi :
“Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.”
0 comments:
Post a Comment