Monday, January 2, 2012

PANCASILA DAN AMANDEMEN UUD 1945


Oleh : Arif indra setyadi
Mahasiswa Notariat UNDIP 2011

             I.      Struktur Kenegaraan Sebelum Amandemen UUD 1945

UU 1945 sebelum di Amandemen meletakan supremasi struktur kenegaraan Indonesia di tangan Lembaga (Institusi)  yaitu Institusi MPR. Seluruh lembaga-lembaga negara bertanggung jawab kepada MPR sebagai Lembaga tertinggi Negara. Kedudukan Konstitusi UUD 1945 Dijelmakan oleh Lembaga MPR yang merupakan penjelmaan kehendak Rakyat.
Kontruksi konstitusi UUD 1945 terdiri dari :

1.      Pembukaan
Pada Pembukaan UUD 1945 mengandung norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi negara (staatsfundamentalnorm). Norma tersebut adalah Pancasila. Pancasila haruslah dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee). Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif sesuai dengan ide-ide dasar Pancasila. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapannya dan pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Menurut Pendapat Hans Nawiazky yang merupakan murid dari Hans Kelsen mengembangkan teori piramida hukum (stufentheorie) Hans Kelsen mengemukakan bahwa : Norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai Norma Dasar (Basic Norm) pada suatu negara sebaikanya tidak disebut sebagai StaatsgrundNorm  melainkan Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara. Grundnorm pada dasarnya statis atau tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi dapat berubah dengan cara Revolusi atau Kudeta.
Dengan memposisikan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm, jika berlandaskan pada teorinya Hans Nawiazky tersebut maka Pancasila ditempatkan diatas Konstitusi (UUD 1945). Pada akhirnya Pancasila tidak termasuk pada pengertian Konstitusi.

2.      Batang Tubuh
Batang tubuh UUD 1945 yang meliputi seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 ditempatkan sebagai ATURAN DASAR NEGARA (staatsgrundgesetz) , termasuk didalamnya adalah TAP MPR dan Konvensi Ketatanegaraan.
Batang tubuh UUD 1945 ini merupakan arti sebenarnya dari Konstitusi Negara Republik Indonesia. Batang Tubuh ini juga sebagai peletakan dasar sistem ketatanegaraan Indonesia. Pada batang tubuh ini, juga meletakan Lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi Negara yang merupakan pencerminan kehendak rakyat Indonesia. Sehingga seluruh lembaga-lembaga negara yang diatur dalam batang tubuh UUD 1945 ini pun haruslah bertanggung jawab kepada MPR.
Pada akhirnya menempatkan Lembaga MPR sebagai lembaga Superior dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia. Bahkan seolah-olah Lembaga MPR kedudukannya lebih tinggi dari Pancasila yang merupakan Norma Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm).
3.      Penjelasan
Penjelasan UUD 1945 merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945, yang menyatakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
Pada Penjelasan juga diterangkan bahwa pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal yang ada dalam batang tubuh UUD 1945. Sehingga dalam penjelsannya Pancasila yang terkandung dalam Pembukaaan UUD 1945 merupakan bagian yang menjadi satu kesatuan sebagai Konstitusi Negara. Kedudukan Pancasila tidak lebih tinggi dari Konsitusi Negara. Pancasila tidak menjadi staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara.

Dengan mengetahui kontruksi Konstitusi UUD 1945 sebelum di Amandemen, maka dalam struktur sistem ketatanegaraan Indonesia pada saat itu menempatkan Lembaga (istitusi) MPR sebagai lembaga yang superior. Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Demikian juga yang terjadi terhadap Lembaga MPR, pada kondisi nyata dikendalikan atau direkayasa oleh PRESIDEN. Lembaga ini hanya digunakan sebagai alat kekuasaan Presiden saja. Sehingga yang terjadi kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sangat-sangat dominan yang pada akhirnya pemerintannyapun menjadi pemerintahan yang Otoriter.

          II.      Struktur Kenegaraan Sesudah Amandemen UUD 1945

Amandemen UUD 1945 yang terjadi saat sekarang bermula dari adanya tuntutan Reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Ketika itu kekuasaan Orde Baru yang otoriter jatuh dengan terjadinya tuntutan rakyat untuk mereformasi segala bentuk kekuasaannya. Adapun tuntutan reformasi itu adalah :
1.      Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
2.      Perubahan Konstitusi yang Demokrasi
3.      Penegakan Hukum yang independen dan terlepas dari pengaruh kekuasaan

Salah satu poin tuntutan reformasi adalah perubahan konstitusi yang demokrasi, ini berarti luas adalah tuntutan untuk merubah sistem keukuasaan ketatanegaraan untuk dengan senyatanya dikembalikan pada rakyat. Pengembalian kedaulatan rakyat ini, dengan mengembalikan posisi falsafah Negara yaitu Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 pada makna dan fungsi yang sebenarnya.
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi IDEOLOGI TERTUTUP adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Pancasila sebagai Ideologi Tertutup berperan sebagai ideologi yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve. Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Kedudukan Pancasila sebagai Falsafah Negara atau staatsidee yang berfungsi sebagai filosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Bahkan Ir. Soekarno juga menyebutkan dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila sebagai kesepakatan yang berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti­tusi dan konsti­tusionalisme di Indonesia. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung­kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke­ber­samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe­rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai Indiologi Pancasila.
Pancasila sebagai penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai INDEOLOGI TERBUKA. Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.
Dengan prinsip Pancasila sebagai Ideologi yang terbuka, menempatkan Pancasila sebagai bagian dari Konstitusi Negara. Menempatkan Pancasila sebagai bagian dari Konstitusi Negara, dengan jelas terdapat pada PEMBUKAAN UUD 1945. Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[1]
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.[2] Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan  Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu;
(1)  bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan;
(2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya;
(3)  bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan
(4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.[3]
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.[4]
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamen­talnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat[5]. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.[6]
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.
Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms, lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.
Dari pemahaman mengenai Ideologi Pancasila tersebut, maka pada era reformasi melalui Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu:[7]
1.      sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2.      sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.      sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4.      sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5.      sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
 Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[8] Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.[9] Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.[10]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.[11]
Bersamaan dengan terjadinya Perubahan (Amandemen) UUD 1945 tersebut. Maka prinsip Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis (democratic rule of law) juga dipertegas dalam rumusan UUD 1945. Prinsip “supremasi parlemen” yang dianut sebelumnya, yang dilambangkan dengan kedudukan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai lembaga tertinggi negara, diubah dengan prinsip “supremasi konstitusi dimana semua lembaga negara dan semua cabang kekuasaan negara mempunyai kedudukan yang sama-sama tunduk kepada konstitusi dalam hubungan “checks and balances” antara satu dengan yang lain. Perubahan dari prinsip “supremasi institusi” ke “supremasi konstitusi” tersebut memperkuat kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan mengharuskan konstitusi itu dijalankan dengan sungguh-sungguh dalam praktik penyelenggaraan negara sehari-hari. Konstitusi tidak lagi hanya bernilai simbolik atau semantik, yang hanya ada dalam pidato-pidato para pejabat, tetapi – sebagai kontrak sosial – benar-benar harus dapat diwujudkan dalam kenyataan.
Supremasi Konstitusi, juga memungkinkan Hukum dijadikan landasan untuk membentuk sistem, dengan cara memisahkan kekuasaan (Pemencaran Kekuasaan). Mengingat segala bentuk kekuasaan cenderung kearah KORUP dan OTORITER. Adapun teori Pemencaran Kekuasaan itu ada 2 macam yaitu :
1.      Pemencaran secara VERTIKAL (Teritorial Division of Power/distribution of power)
Pemencaran kekuasaan dengan cara pembagian kekuasaan dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga-lembaga negara dibwahnya. Pada sistem ini terjadi supremasi satu lembaga negara.
2.      Pemencaran secara HORISONTAL ( Function Division of Power/separation of power)
Cara memisahkan kekuasan-kekuasaan menjadi kekuasan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagi fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.
Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara atau pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya




[1] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 – 129.
[2] Kusuma, Op Cit., hal. 130, catatan kaki no. 229.
[3] Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan penjelasan ini. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 51.
[4] Ibid., hal. 51 – 52.
[5] Kusuma, Op Cit., hal. 132 – 137.
[6] Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
[7] Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[8] Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.
[9] Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
[10] Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
[11] Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini  meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.
Share

0 comments:

Post a Comment