Thursday, January 12, 2012

AKIBAT HUKUM PERSEROAN TERBATAS (PT) TERHADAP KEPUTUSAN PAILIT PENGADILAN NIAGA


AKIBAT HUKUM  PERSEROAN TERBATAS (PT) TERHADAP KEPUTUSAN PAILIT PENGADILAN NIAGA

Oleh :
Arif Indra Setyadi
Mahasiswa Pasca Sarjana Kenotariatan
UNDIP 2011



             I.      Perseroan Terbatas
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai akibat hukum apabila PT dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, alangkah lebih baiknya kita memahami Pengertian lebih dalam tentang PT sebagai Badan Hukum, karena hal ini berkait erat dengan pertanggungjawaban kegiatan yang telah dilakukan oleh Badan Hukum Perseroan Terbatas.
Pasal 1 butir 1 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, selanjutnya disebut UUPT, menegaskan bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah BADAN HUKUM. Dengan statusnya sebagai badan hukum maka berarti perseroan berkedudukan sebagai SUBYEK HUKUM yang mampu mendukung hak dan kewajibannya sebagaimana halnya dengan orang dan mempunyai harta kekayaan tersendiri terpisah dari harta kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para pengurusnya, atau dapat dikatakan bahwa kita dapat menemui rechtpersoonlijkheid dalam badan hukum korporasi atau perseroan. Akan tetapi dalam UUPT tidak akan kita temui batasan apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan badan hukum tersebut.
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai badan hukum antara lain sebagai berikut :[1]
1.   Teori Fiktif dari Von Savigny
      Teori ini menyatakan bahwa badan hukum itu semata-mata buatan Negara saja. Sebetulnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subyek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi saja, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia.
2.   Teori harta kekayaan bertujuan dari Brinz
      Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun, juga tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada manusiapun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang kita namakan hak-hak dari suatu badan hukum sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atas kekayaan kepunyaan suatu tujuan.
3.   Teori Organ dari Otto Von Gierki
      Menurut teori ini badan hukum adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia ada dalam pergaulan hukum. Di sini tidak hanya suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya (pengurus, anggota-anggotanya). Apa yang mereka putuskan, adalah kehendak atau kemauan dari badan hukum. Teori ini menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan manusia.
4.   Teori propiete collective dari Planiol
      Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluruhan. Di sini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Maka dari itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja.
Dengan demikian dari berbagai teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok teori yaitu sebagai berikut :
Pertama, mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, dianggap mempunyai “panca indera” sendiri seperti manusia, akibatnya badan hukum itu disamakan dengan orang atau manusia.
Kedua, mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya kalau badan hukum itu membuat kesalahan maka kesalahan itu adalah kesalahan manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama.[2]
Perbedaan teori mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pemisahan pertanggungjawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada di belakang badan hukum tersebut. Yang dimaksudkan dengan pertanggungjawaban adalah siapa yang harus membayar utang yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam rangka kegiatan bersama ? Siapa yang harus menanggung atas kerugian yang timbul.
Seperti yang diatur dalam Pasal 1 Butir 1 UUPT tersebut diatas bahwa Perseroan Terbatas adalah merupakan badan hukum berarti bahwa badan Hukum (Perseroan Terbatas) merupakan penyandang hak dan kewajibannya sendiri yang memiliki status yang dipersamakan dengan orang perorangan sebagi subyek hukum. Dalam pengertian sebagai penyandang hak dan kewajiban badan hukum dapat digugat ataupun menggugat di pengadilan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidakberdayaannya sebagai badan hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum.
Sebagai suatu badan hukum, pada prinsipnya perseroan terbatas dapat memiliki segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorangan, dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi yang hanya mungkin dilaksanakan oleh orang perorangan seperti misalnya yang diatur dalam buku kedua KUHPerdata tentang kewarisan. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimiliki tersebut, UUPT telah merumuskan fungsi dan tugas dari masing-masing ORGAN PERSEROAN tersebut yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat 2 UUPT organ perseroan terbatas adalah :

1.   Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang kedudukannya adalah sebagai organ yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam perseroan berdasar ketentuan Pasal 1 butir 4 UUPT yang menerangkan bahwa :

“Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi dan komisaris”.

Akan tetapi kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang tersebut adalah tidak mutlak artinya bahwa kekuasaan tertinggi yang dimiliki RUPS hanya mengenai wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi dan komisaris karena tugas dan wewenang setiap organ perseroan termasuk RUPS sudah diatur secara mandiri (otonom) di dalam UUPT.

2.   Direksi
Tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan direksi dalam suatu perseroan terbatas, yang jelas direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan.
Direksi atau pengurus perseroan adalah alat perlengkapan perseroan yang melakukan kegiatan perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pengangkatan direksi dilakukan oleh RUPS akan tetapi untuk pertama kali pengangkatannya dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota direksi di dalam akta pendiriannya.
Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan direksi dalam perseroan sebagai gabungan dari dua macam persetujuan/perjanjian, yaitu :[3]
1. Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi dan
2. Perjanjian kerja/perburuhan, di sisi lainnya.

3.   Komisaris
Sebelumdiberlakukannya UUPT, atau ketika kita masih memberlakukan PT berdasarkan KUHD, Organ Komisaris ini tidak wajib ada dalam PT. Tetapi setelah kita memberlakukan UUPT organ Komisaris wajib ada, seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 6 UUPT, yang menerangkan bahwa:

Pasal 1 Butir 6
Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

Adapun tugas pokok dari Komisaris dalam Perseroan Terbatas diatur dalam Pasal 108 ayat 1 yang menyebutkan bahwa : Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.
Uraian diatas dapat memberikan pemahaman kepada kita bahwa Perseroan Terbatas terdiri dari 2 (dua) unsur pokok yaitu :
1.      Badan Hukum
Dalam pengertian sebagai penyandang hak dan kewajiban badan hukum dapat digugat ataupun menggugat di pengadilan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidakberdayaannya sebagai badan hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum.

2.      Organ Perseroan
Hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluruhan. Di sini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Anggota-anggota dari badan hukum itu dalam Perseroan Terbatas terbagi atas pemilikan saham dalam Perseroan Terbatas, dimana mekanisme pelaksanaan Badan Hukum tersebut dilakukan oleh Organ Perseroan yang terdiri dari RUPS, Direksi dan Komisaris, yang mana memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Anggota-anggota Badan Hukum ini terikat dalam persekutuan modal, yang didasarkan pada perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha yang terbagi atas kepemilikan saham. Sehingga tanggung jawab Organ Perseroan inipun terbatas pada isi perjanjian dalam persekutuan modal dalam bentuk saham yang disetor. Dan pada pelaksanaannya harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam UUPT.

          II.      Akibat Hukum Perseroan Terbatas (PT) terhadap Keputusan Pailit
Sebelum membahas eksistensi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya kepailitan, berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu syarat-syarat berakhirnya kepailitan, yaitu :
1.   Apabila pembagian terhadap harta si pailit telah dilakukan secara tuntas dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti;
2.   Apabila homogolasi akor telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti;
3.   Apabila ada pertimbangan dari hakim yang memutus kepailitan, bahwa harta si pailit ternyata tidak cukup untuk membiayai kepailitan.
Dalam hal kepailitan badan hukum perseroan terbatas setelah berakhirnya kepailitan, bubar atau tidaknya perseroan tergantung kepada keputusan hakim atas adanya permohonan pembubaran perseroan karena didalam undang-undang kepailitan dan undang-undang perseroan terbatas No. 40 tahun 2007 tidak adanya pengaturan mengenai pembubaran demi hukum perseroan terbatas secara terperinci. Pembubaran Perseroan terbatas demi hukum hanya dikenal pengaturannya di KUHD yaitu Alasan-alasan pembubaran perseroan karena jangka waktu berdirinya berakhir dan bubar demi hukum karena kerugian yang mencapai 75% dari modal perseroan. Akan tetapi undang-undang UUPT mengenal adanya pembubaran karena penetapan pengadilan tetapi tidak mengenal adanya pembubaran demi hukum.
Menurut ketentuan Pasal 142 UUPT, Pembubaran Perseroan terjadi :
a.   berdasarkan keputusan RUPS;
b.   karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c.   berdasarkan penetapan pengadilan;
d.   dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e.   karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f.    karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 142 UUPT ada 2 (dua) alasan pembubaran PT yang berhubungan dengan Kepailitan yaitu

1.      Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
2.      Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

ALASAN PERTAMA digunakan untuk melindungi kepentingan kreditor. Dalam hal ini kreditor tentunya tidak boleh dirugikan dengan adanya keadaan tidak mampu membayar ini. Berdasarkan Pasal 18 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, apabila perseroan pailit sehingga tidak mampu membayar hutangnya, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan kepada Hakim Pengawas atas Putusan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Debitor. Berdasarkan permohonan Kreditor atau Panitia Kreditor sementara jika ada,  tersebut Hakim Pengawas mengusulkan kepada Pengadilan Niaga, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit Berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga tersebut, suatu perseroan dapat dibubarkan. Pembubaran tersebut diikuti dengan pemberesan sehingga kreditor berhak mendapatkan pelunasan dari hasil pemberesan tersebut.
Setelah pembubaran PT terjadi dengan adanya pencabutan kepailitan ini, maka menurut pasal 142 butir 4 Pengadilan Niaga sekaligus memutuskan, pemberhentian Kurator. Kemudian peran Kurator digantikan oleh Likuidator sebagai pihak yang ditunjuk untuk menyelesaikan pemberesan. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:
a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan
b.   pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi.
Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia memuat:
a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya;
b. nama dan alamat likuidator;
c. tata cara pengajuan tagihan; dan
d. jangka waktu pengajuan tagihan.
Jangka waktu pengajuan tagihan adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana. Pemberitahuan kepada Menteri wajib dilengkapi dengan bukti:
a. dasar hukum pembubaran Perseroan; dan
b. pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar
ALASAN KEDUA, Pembubaran Perseroan Terbatas terjadi karena telah dinyatakan pailit dan dalam keadaan INSOLVENSI. Keadaan insolvenasi menurut Pasal 178 ayat 1 UUK dan PKPU yaitu suatu keadaan dimana Debitor dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar, insolvensi ini terjadi apabila :

1.      Dalam rapat pencocokan piutang Kreditor tidak ditawarkan perdamaian atau
2.      Rencana Perdamaian yang ditawarkan Debitor ditolak oleh Panitia Kreditor atau
3.      Pengesahan Perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Akibat hukum dari penetapan insolvensi debitor pailit, timbulnya konsekuensi hukum tertentu, yaitu sebagai berikut :
1.      Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misal : pertimbangan prospek kelangsungan usaha) yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih mengutungkan;
2.      Pada prinsipnya tidak ada REHABILITASI, sebab insolvensi ini disebabkan tidak adanya perdamaian dan aset Debitor Pailit lebih kecil dari kewajibannya. Kecuali apabila setelah dalam keadaan insolvensi kemudian terdapat Harta lain dari Debitor pailit. Misalnya adanya warisan, sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian Rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan Pasal 215 UUK dan PKPU.
Bertolak dari kedua alasan yang dipakai sebagai dasar Pembubaran Perseroan Terbatas dalam Kepailitan, menimbulkan dua mode perlakuan hukum terhadap perseroan terbatas, yaitu :

1.   Berlaku demi hukum (by the operation of law).
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai hukum tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditur dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misal, dalam Pasal 93 Undang-undang Kepailitan disebutkan, larangan bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun dalam hal ini pihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

2.   Berlaku secara Rule of Reason.
Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mepunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut. Misal, Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain.

Dengan demikian, bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.[4]
Pada dasarnya sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitur untuk melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kekayaannya harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitur menurut peraturan perundang-undangan.[5]
Semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur berakibat bahwa ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona standy in ludicio) dan hak kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi harta (boedel) si pailit, sebaliknya apabila dengan perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian itu tidak mengikat boedel.
Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis terhentinya operasional perseroan. Pernyataan Pailit Perseroan Terbatas membuat perseroan sebatas kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut. Pendapat ini dkuatkan dengan berlandaskan pada beberapa hal sebagai berikut :

1.      Pasal 143 ayat 1 UUPT, menjelaskan bahwa :
Pasal 143
(1) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
(2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan.

Pasal ini berkaitan dengan pasal sebelumnya bahwa salah satu penyebab pembubaran adalah disebabkankan karena berada pada keadaan pailit yangmana keadaan pailit dapat terjadi karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena telah dinyatakan Insolvensi. Dengan demikian Pembubaran perseroan, seperti yang diatur dalam Pasal 142 butir 4, yang dimaksud dalam Pasal 143 UUPT tersebut pun harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU No. 37 tahun 2004.
Pembubaran perseroan terbatas yang dimaksud dalam Pasal 142 butir 1 huruf d dan e UUPT, proses dan pemberesannya haruslah sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU. Pada Pembubaran yang demikian ini, bahwa Pembubaran yang dimaksud adalah penghentian operasional perseroan terbatas yang dilakukan oleh organ-organ perseroan yang meliputi RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris, bukanlah berupa Pembubaran Badan Hukum perseroan terbatas. Peran organ-organ perseroan tersebut berdasarkan pasal 16 dan pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU, diambil alih oleh Kurator dan Hakim Pengawas untuk melakukan Pemberesan harta pailit dan atau melanjutkan operasional perseroan terbatas dengan pertimbangkan lebih mengutungkan daripada menghentikan operasional perseroan terbatas, kecuali apabila terjadi pencabutan kepailitan akibat tidak ada kemampuan membayar Debitor untuk membayar biaya kepailitan maka bersamaan dengan itu dilakukan penghentian tugas dan wewenang Kurator dalam kegiatannnya, pemberesan dan penyelesaian kewajiban perseroan dilakukan oleh likuidator seperti halnya diatur dalam pasal 143 butir 4 UUPT.
Dari ketiga organ perseroan, yang sangat berperan penting dalam operasional badan hukum perseroan terbatas adalah Direksi. Sebagai organ dari perseroan, keberadan direksi bergantung sepenuhnya pada  keberadaan perseroan, dan sebaliknya perseroan baru dapat menjalankan kegiatannya jika ada direksi yang mengurus dan mengelolanya. Sebagai suatu badan hukum, perseroan terbatas dianggap seolah-olah sebagai suatu person atau subyek hukum tersendiri (artificial person) yang mandiri sehingga mempunyai hak untuk menjadi pemegang hak dan kewajibannya sendiri, sedangkan Direksi sebagai bagian dari organ perseroan terbatas adalah satu-satunya organ perseroan yang berhak dan berwenang untuk mewakili perseroan sebenarnya hanyahlah sub dari suatu subyek hukum yang bernama perseroan terbatas.
Dari pengertian di atas maka dalam melakukan kewajibannya untuk melakukan pengurusan perseroan maka ada pembatasan kewenangan bagi Direksi bahwa ia tidak diperkenankan untuk bertindak diluar maksud dan tujuan dari perseroan serta untuk melakukan tindakan yang berada di luar kewenangannya sebagaimana ditentukan di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar, dan Peraturan lain yang berlaku. Dengan dipenuhinya syarat-syarat pembatasan kewenangan yang berlaku maka setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota Direksi Perseroan akan dianggap tetap mengikat perseroan. Ini berarti perseroan harus tetap menanggung segala akibat hukumnya sehingga berdasaran hal ini maka untuk menciptakan kepastian hukum mengenai kewenangan bertindak untuk dan atas nama perseroan, pada banyak negara telah diberlakukan mekanisme keterbukaan (disclosure) tertentu yang mewajibkan perseroan untuk mengumumkan kewenangan bertindak Direksi dan setiap anggotanya termasuk pihak-pihak lainnya yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan serta pembatasan kewenang-kewenangannya.
Dari sinilah makna yang sebenarnya dari pembubaran Perseroan Terbatas sebagai akibat dari Kepailitan yang diatur dalam Pasal 142 butir 1 huruf d dan e UUPT. Dengan pemberhentian tugas dan wewenang organ PT, termasuk yang sangat penting adalah Direksi dalam menjalankan operasional Perseroan Terbatas. Sedang Pembubaran BADAN HUKUM perseroan terbatas dilaksanakan setelah segala urusan dan pemberesan kewajiban telah diselesaikan secara keseluruhan terhadap Kreditor maupun pihak ketiga. Pembubaran Badan Hukum ini melalui mekanisme yang diatur dalam UUPT. Setelah segala sesuatu mengenai pemberesan dan penyelesaian kewajiban terhadap Kreditor maupun Pihak Ketiga selesai, RUPS sebagai organ tertinggi Perseroan Terbatas, kembali pada fungsi, tugas dan wewenangnya untuk melakukan langkah-langkah pembubaran Badan Hukum.

2.      Pasal 104 UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Pasal 104
(1)  Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
(2)  Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Sebelumnya kita sudah mengetahui mengenai pembubaran perseroan terbatas akibat dari kepailitan yang diatur dalam UUPT. Mengingat segala apa yang diatur dalam UUPT mengenai pembubaran perseroan terbatas khususnya yang disebabkan karena kepailtan harus mempertimbangkan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan maka bertolak dari hal tersebut pada esensinya bahwa Tidak setiap perseroan yang dinyatakan pailit baik karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena telah dinyatakan Insolvensi, selalu dibubarkan baik pengertian berhenti operasionalnya maupun pembubaran Badan Hukum perseroan terbatas tersebut.
Peluang untuk tidak dibubarkan dan tidak berhenti operasional Perseroan Terbatas ini diberikan dalam ketentuan UU Kepailitan dan PKPU pada Pasal 104, yaitu dengan persetujuan Panitia Kreditor, Kurator, bahkan walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau Peninjauan Kembali. Dalam kepailitan badan hukum Perseroan Terbatas, beroperasi atau tidaknya perseroan setelah putusan pailit dibacakan tergantung pada cara pandang kurator terhadap prospek usaha perseroan pada waktu yang akan datang.
Berdasarkan pasal 104 di atas dapat disimpulkan bahwa kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis membuat perseroan kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut karena kepailitan perseroan terbatas menurut hukum Indonesia tidak menyebabkan terhentinya operasional perseroan. Akan tetapi dalam hal perusahaan yang dilanjutkan ternyata tidak berprospek dengan baik, maka hakim pengawas akan memutuskan untuk menghentikan beroperasinya perseroan terbatas dalam permohonan seorang Kreditor.
Pasal tersebut di atas tidak berlaku apabila di dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak sehingga demi hukum harga pailit berada dalam keadaan insolvensi. Kurator yang hadir dalam rapat mengusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan (Pasal 179 ayat (1)) dan usul tersebut hanya dapat diterima apabila usul tersebut disetujui oleh para kreditor yang mewakili lebih dari ½ (setengah) dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara yang tidak dijamin dengan hak gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya (Pasal 180 ayat (1)).
Walaupun syarat-syarat seperti di atas telah terpenuhi, tetap beroperasi tidaknya suatu badan hukum perseroan masih harus tetap mendapatkan persetujuan dari Hakim Pengawas dalam suatu rapat yang dihadiri oleh Kurator, Debitur dan Kreditor, yang diadakan khusus untuk membahas atas usul kreditor sebagaimana tersebut di dalam Pasal 179 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 180 ayat (1), Pasal 183 UUK & PKPU.
Dengan pertimbangan tetap beroperasinya usaha dari perseroan terbatas pailit maka dimungkinkan adanya keuntungan yang akan diperoleh diantaranya yaitu :
1.   Dapat menambah harta si pailit dengan keuntungan-keuntungan yang mungkin diperoleh dari perusahaan itu.
2.   Ada kemungkinan lambat laun si pailit akan dapat membayar utangnya secara penuh.
3.   Kemungkinan tercapai suatu perdamaian.

3.      Asas Kelangsungan Usaha
Pada penjelasan Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, memberi peluang bagi perusahaan yang menurut penilaian Kurator, Panitia Kreditor dan atas ijin Hakim Pengawas masih memiliki Prospek Usaha yang Baik, dapat tetap dilangsungkan. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, tidak semata-mata bertujuan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan Kreditor atas utang-utang Debitor saja, tetapi lebih dari pada itu, nilai-nilai dasar yang terkadung dalam asas-asas UU Kepailitan dan PKPU ini, ditujukan untuk melindungi seluruh kepentingan-kepentingan para pihak dan bahkan dengan pertimbangan untuk kepentingan ekonomi nasional atau kepentingan negara.
Ada beberapa tujuan yang terkandung dalam  asas-asas dari UU Kepailitan dan PKPU, menurut Sutan Remy Syahdeni antara lain :[6]
1.      Undang-Undang Kepailitan harus dapat mendorong kegairahan investasi asing, mendorong pasar modal, dan memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar negeri;
2.      Putusan pernyataan pailit seyogianya berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas;
3.      Permohonan pernyataan pailit seyogianya hanya dapat diajukan terhadap Debitor yang insolven yaitu tidak membayar utangutangnya kepada kreditor mayoritas;
4.      Undang-undang Kepailitan harus mengakui hak separatis dari kreditor pemegang hak jaminan
5.      Undang-undang kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan Debitor;
6.      Undang-undang Kepailitan seyogianya memungkinkan utang debitor diupayakan direstrukrisasi terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit;
Asas Kelangsungan usaha ini, bermaksud untuk melindungi kepentingan Debitor Pailit atas kepentingan beberapa Kreditor yang menghendaki segera diselesaikan utang-utang debitor kepadanya setelah jatuh tempo. Demi hukum sejak Debitor dinyatakan pailit secara otomatis kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurusi kekayaan yang termasuk dalam harta pailit (Pasal 24 ).
Kemudian jika kita mencerna ketentuan yang mengatur mengenai syarat-syarat Debitor pailit pada pasal 2 ayat 1, demikian sederhana, yaitu :
1.   Debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai dua kreditor atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditor;
2.   Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditornya;
3.   Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.

 Menurut Sutan Remy harus dibedakan antara pengertian kreditor dalam kalimat :

“…….mempunyai dua atau lebih kreditor ………….”dan kreditor
dalam kalimat “…………….atas permintaan seseorang atau lebih
kreditornya”

Yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu kreditor saja. Dengan demikian, pengertian kreditor di sini adalah untuk mensyaratkan bahwa debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu kreditor saja. Dengan demikian, pengertian kreditor di sini adalah menunjuk pada sembarang kreditor, yaitu baik kreditor konkuren maupun kreditor preferen. Yang ditekankan di sini adalah keuangan kreditor bukan bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang-utang.
Sedangkan maksud kalimat yang kedua adalah untuk menentukan bahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh debitor sendiri tetapi juga oleh kreditor. Kreditor yang dimaksud di sini adalah kreditor konkuren. Mengapa harus kreditor konkuren adalah karena seorang kreditor preferen atau separatis pemegang hak-hak jaminan tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat kreditor separatis telah terjamin sumber pelunasan tagihannya yaitu dari barang-barang yang telah dibebani dengan hak jaminan.[7]
Syarat kedua permohonan pailit adalah adanya suatu “utang”. Kata utang (diambil dari kata Gotisch “skulan” atau “sollen”)77. Pada mulanya harus dikerjakan menurut hukum, sehingga utang dalam pengertian ini merupakan hal yang dapat timbul pada kedua belah pihak. Dalam Perikatan, kewajiban (pemenuhan prestasi) yang harus dijalankan menurut hukum dan merupakan tagihannya yang dapat dimintakan ganti rugi bila tidak dipenuhi oleh si debitor, sehingga si berpiutang atau kreditor memiliki piutang (inschuld) dan hak atas tuntutan ganti rugi, sementara pada pihak si berutang atau debitor memiliki utang (uitschuld) dan tanggungjawab atas tuntutan gantirugi (haftung).
Menurut Sutan Remy[8], rumusan Pasal 2 ayat (1) UUK tersebut tidak sejalan dengan asas hukum kepailitan yang umum berlaku secara global. Seharusnya tidaklah cukup hanya disyaratkan bahwa Debitor memiliki lebih dari satu Kreditor saja (mempunyai dua atau lebih kreditor). Tetapi harus disyaratkan pula bahwa utang-utang kepada para kreditor yang lain haruslah pula telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta tidak dibayar. Artinya, debitor harus dalam keadaan insolven. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa debitor harus telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada satu atau dua orang kreditor saja. Sedangkan kepada kreditor lainnya Debitor masih melaksanakan kewajiban pembayaran utang-utangnya dengan baik. Dalam hal Debitor hanya tidak mambayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor yang lain Kreditor masih mambayar utangutangnya, maka terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga tetapi diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri.
Ada sebuah contoh yang sangat menarik mengenai putusan pailit Pengadilan Niaga terhadap suatu perusahaan yang masih solven hanya berdasarkan dalih bahwa perusahaan tersebut tidak membayar kewajibannya kepada salah satu kreditor tertentu saja, sekalipun kepada Kreditor-Kreditor lainnya perusahaan tersebut masih memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan baik. Putusan yang dimaksud adalah Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 10/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002 itu, yang menyatakan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) pailit. Putusan tersebut telah memicu reaksi yang keras tidak saja dari dalam negeri, tetapi juga dari dunia internasional.

       III.      Penutup

1.      Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas adalah kepailitan dirinya sendiri bukan kepailitan para pengurusnya, walaupun kepailitan itu terjadi karena adanya kelalaian dari para pengurusnya. Sehingga seharusnya pengurus tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya secara tanggung renteng atas adanya kerugian karena kelalaiannya dan hanya dapat dimintai pertangungjawaban apabila kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan (Pasal 90 ayat (2) UUPT).
2.      Pembubaran perseroan yang dimaksud dalam pasal 142 butir 1 huruf d dan e, adalah penghetian kegiatan perseroan terbatas yang dilakukan oleh organ-organ PT yang meliputi RUPS, Direksi dan Dewan Direksi, Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan dalam keadaan Insolvensi wajib mencantumkan “Likuidasi” dibelakang nama Perseroan Terbatas.  Sedangkan Badan Hukum PT, tidak secara otomatis bubar (Pasal 143 ayat 1). Pembubaran Badan Hukum PT tetap mengunakan prosedur RUPS sebgai organ tertinggi dalam PT. Pelaksanaan Pembubaran Badan Hukum PT dilaksanakan setelah pengurusan dan pemberesan perseroan telah selesai dilaksanakan.
3.      Pembubaran perseroan terbatas setelah putusan pailit dibacakan hanya dapat dimintakan penetapan pengadilan oleh kreditor dengan alasan perseroan tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit atau harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Hal mana juga ditegaskan di dalam penjelasan UUK dan PKPU bahwa asas di dalam Undang-undang ini di antaranya adalah asas kelangsungan usaha yang artinya bahwa kepailitan tidak demi hukum menjadikan perseroan bubar.
4.      Kelanjutan usaha dari perseroan terbatas pailit tergantung dari cara pandang Kurator serta kreditur atas prospek usaha debitur pailit di masa datang, kepailitan perseroan terbatas demi hukum tidak membubarkan perseroan terbatas. Dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 104 dan Asas Kelangsungan Usaha, maka Kurator bersama-sama Panitia Kreditor dengan persetujuan Hakim Pengawas, dapat mengusulkan agar PT yang telah dinyatakan Insolensi dapat tetap melangsungkan Usaha. Jika dianggap Perseroan Terbatas tersebut masih memilik Prospek Bisnis yang menguntungkan.


[1] R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 2002, Hal. 7.


[2] Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 28 – 29;

[3] Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis – Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 97;

[4] Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Bandung ; Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hal 65-66;
[5] Imran Nating, Peranan dan Tanggungjawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo, Persada, Jakarta, 2004, hal 39.

[6] Sutan Remy, Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998,Cet.1, Pustaka Utama Grafiti: Jakarta, hal. 38.

[7] Sutan Remy, Ibid, hal. 67.
[8] Sutan Remy, hal. 75.

Share

0 comments:

Post a Comment