Thursday, January 12, 2012

YURISPRUDENSI HAKIM SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENCARI KEADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM


YURISPRUDENSI HAKIM SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENCARI KEADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM

Oleh : Arif Indra Setyadi
Mahasiswa Kenotariatan UNDIP Semarang
2011
A.     PENDAHULUAN
Hukum mempunyai relevansi yang erat dengan keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum. Hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju kebahagiaan. Hakikat hukum adalah membawa aturan yang adil dalam masyarakat. Hukum harus mengadakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana dicita-citakan. Hukum mengandung suatu tuntutan keadilan. Diharapkan seluruh ketentuan yang mengatur segala perilaku atau keadaan manusia dalam kehidupan mencerminkan rasa keadilan.
Aristoteles dalam karyanya Nicomachean Ethics menempatkan keadilan sebagai keutamaan yang paling penting dalam hukum.. Alasannya, keadilan merupakan keutamaan yang lengkap dibandingkan dengan keutamaan yang lain karena pelaksanaannya selalu berkaitan dengan orang atau pihak lain. Bertindak adil berarti melakukan sesuatu demi kebaikan tanpa syarat apapun. Pada kontek hukum, keadilan sebagai norma moral mendapat tempat yang kongkret dalam penegakan hukum, dalam arti keadilan menjadi perspektif pengambilan keputusan. Bahwa keadilan menjadi titik tolak bagi seorang hakim dalam pengambilan keputusan.[1]
Pada kontek ini Keadilan dipandang dari perspektif pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum. Penegakan hukum mana dilakukan oleh kekuasaan Hakim. Hendaknya tindakan Hakim pada saat pengambilan keputusan terhadap perkara yang sedang dihadapi mempertimbangkan dampak yang terjadi bagi masyarakat luas. Pertimbangan moral dalam pengambilan keputusan oleh Hakim menjadi hal yang pokok, terutama prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum positif.  [2]
Hakim dalam pengambilan keputusan terhadap perkara yang sedang dihadapi, tidak sekedar sebagai terompet undang-undang saja. Hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan yang sedang hidup di dalam masyarakat, ketika putusan itu dijatuhkan. Upaya mencari hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, Hakim yang bersangkutan dapat melakukan Penemuan Hukum. Pranata hukum Yurisprudensi sebagai salah satu pranata yang dapat dipergunakan hakim dalam upaya untuk menegakan keadilan.
Hadirnya Yurisprudensi dalam proses pengambilan keputusan oleh Hakim, pada saat Hakim dihadapkan pada kasus hukum dan mengalami bahwa hukum yang ada tidak mewadai untuk memecahkan persoalan. Hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substanstif dapat diwujudkan melalui putusan hakim. 
Keadilan substantif bukan berarti Hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum. Ini berarti bahwa apa yang secara formal benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil[3]
Untuk mewujudkan suatu keadilan yang substantif tentunya harus menyelaraskan antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan hukum yang dibutuhkan masyarakat. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari, sering kali terjadi benturan antara materi hukum (substansi) dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif. yakni dengan menelaah kembali sumber-sumber hukum yang berlaku. Adanya ruang kebebasan bagi hakim untuk menggarap peraturan-peraturan hukum dengan cara mempelajari sebab akibatnya dalam hubungannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat.[4]
B.     PEMBAHASAN
Penegakan hukum tidak lepas dari konsep hukum yang mendasari pemikiran dalam menentukan cara-cara yang dijalankan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Pemahaman mengenai konsep hukum dan pemikiran itu, telah disadari terdapat perbedaan paradigmatik diantara para penegak hukum (hakim) dalam memandang hakikat hukum. Dalam ilmu hukum terdapat berbagai aliran pemikiran yang meggunakan paradigma-paradigma tertentu. Paradigma tersebut, yaitu :[5]
1. Yuridis - dogmatis, yaitu suatu cara pendekatan di mana diolah peraturan-peraturan hukum dengan logika aka1 saja dan selanjutnya pengertian-pengertian hukum tersebut diberlakukan hanya dengan aka1 logika tanpa memperhitungkan kenyataan dan keadilan (dogma adalah ajaran atau pendapat yang diterima begitu saja tanpa menyelidiki benar tidaknya);
2. Kausal-empiris/sosiologis, ialah suatu cara pendekatan yang menggarap peraturan-peraturan hukum dengan cara mempelajari sebab akibatnya dalam hubungannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat;
3.   Filosofis/idealis/ideologis, yaitu metode pendekatan yang menggarap peraturan,peraturan hukum dengan mempelajari hubungannya dengan hal-ha1 yang timbul dari ide-ide atau cita-cita atau hasil pemikiran manusia.
Pembedaan terhadap paradigma ini tidak dimaksudkan untuk menyekat sedemikian rupa sehingga masing-masing model paradigma memisahkan diri satu sama lainnya. Pemisahan masing-masing model paradigma ini berimplikasi negatif terhadap proses penegakan hukum oleh Hakim. Sehingga tujuan dari penegakan hukum oleh Hakim yaitu keadilan yang dicita-citakan atau dikehendaki oleh masyarakat luas tidak tercapai.
Idealnya Hakim menggunakan ketiga paradigma itu sebagai konsep dasar pemikiran atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan ketiga metode pendekatan itu, hendaknya selalu bermuara pada paradigma filosofi/idealis/ideologis sebagai pertimbangan yang harus digunakan Hakim. Paradigma filosofi meyakini bahwa norma moral tidak akan lepas dari hukum, terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum positif.
Ronald Dowrkin, pemikir hukum kontemporer, menegaskan hal serupa namun dengan memberikan penekanan pada isi hukum. Hadirnya pranata hukum Yurisprudensi dalam proses penegakan hukum oleh Hakim, menjadi bukti yang jelas untuk maksud tersebut. Menurut Dowrkin, yang menjadi pertimbangan pertama dalam Yurisprudensi bukan persoalan fakta dan strategi hukum melainkan dengan masalah moral. Hakim dibenarkan untuk mencari penyelesaian masalah dengan bimbingan moral yang rasional. Di tengah kebutuhan hukum positif yang sedang berhadapan dengan kasus berat, Hakim dibenarkan untuk menggunakan pertimbangan moral dalam penyelesaiannya. Posisi moral dalam hukum bukan selalu bersifat serba subyektif. Pertanggung jawaban moral selalu menuntut argumen yang secara rasional dapat diuji oleh siapapun.[6]
Konsekuansi logis terhadap perbedaan paradigma diatas berdampak pada perbedaan teori-teori yang dibangun dan dikembangkan. Sebagai kelanjutan dari perbedaan paradigma tersebut, maka metode yang digunakan untuk memahami keadilan substansinya pun berbeda. Paradigma dipahami sebagai asumsi-asumsi dasar yang ingin kita kembangkan, yang kita yakini benar dan yang nantinya menentukan cara pandang kita tentang obyek yang kita telaah.[7]
Asumsi-asunsi dasar inilah, yang menimbulkan perbedaan cara pandang penegak hukum pada saat dihadapkan dengan perkara yang harus diselesaikan. Berawal dari perbedaan cara  pandang atau paradigma ini, maka menimbulkan beberapa aliran-aliran yang menggambarkan hubungan hukum dengan Hakim dalam penegakan hukum, yaitu :[8]
(1) Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang. Menurut ajaran ini, undang-undang dianggap sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional.
Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.
(2) Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.
(a) Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh Hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga Hakim dapat mengwujudkan kepastian hukum.
(b) Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan Hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang, tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam putusan Hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan dalam keadaan tertentu Hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang, demi kemanfaatan masyarakat.
      Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin hanyalah sebagai “pengantar” atau “Pembuka jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau sarana bagi Hakim untuk membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya itu.
      Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.
(c)    Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin dan G. Gurvitch.
(d)   Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statis—melainkan sistem terbuka, open system van het recht, karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum, guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan.
Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut;
b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis.
C.     PENUTUP
Perbedaan Paradigma yang digunakan untuk membangun teori-teori, metode dan pengembangan konsep hukum dalam bingkai penegakan hukum oleh Hakim hendakya bukan menjadi penyebab tidak tercapainya keadilan substantif yang dicita-citakan oleh para pencari keadilan dan masyarakat luas.
Idealnya Hakim menggunakan ketiga paradigma itu sebagai konsep dasar pemikiran atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan ketiga metode pendekatan itu, hendaknya selalu bermuara pada paradigma filosofi/idealis/ideologis sebagai pertimbangan yang harus digunakan Hakim.
Yurisprudensi merupakan salah satu pranata hukum yang digunakan Hakim sebagai proses penemuan hukum (sumber hukum), hendaknya selalu mempertimbangan norma moral terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum positif.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Andrea Ata Ujan,SH,MH, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009;

Bahrul Ilmi Yakup,SH,LLM, Keadilan Substantif dan Problematika Penegakannya, http://www.situshukum.com/kolom/keadilan-substantif-dan-problematika-penegakannya.shkm, 2010;

Dansur, Peran Hakim dalam Penemuan Hukum, http://www.blogster.com/dansur/peranan-hakim-dalam-penemuan, 2006;

Prof. Dr.Yusriyadi,SH,MS, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean Fundation dan Undip dalam rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004.







[1] Andrea Ata Ujan, FILSAFAT HUKUM, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal. 151.


[2] Ibid. hal. 153
[3] Bahrul Ilmi Yakup, Keadilan Substantif dan Problematika Penegakannya, http://www.situshukum.com/kolom/keadilan-substantif-dan-problematika-penegakannya.shkm, hal. 3
[4] Yusriyadi, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean Fundation dan Undip dalam rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004, hal. 5
[5] Yusriyadi, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean Fundation dan Undip dalam rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004, hal. 3

[6] Andrea Ata Ujan, FILSAFAT HUKUM, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal. 155.
[7] Yusriyadi, Op. cit. hal. 3
[8] Dansur, Peran Hakim dalam Penemuan Hukum, http://www.blogster.com/dansur/peranan-hakim-dalam-penemuan, 2006, hal10

Share

0 comments:

Post a Comment